dakwatuna.com – Hampir semua orang tidak menyukai ulat, dengan beragam alasan yang dikemukakan, baik karena jijik maupun karena takut melihat rupanya. Begitupun denganku betapa aku ingin menjerit sekencang-kencangnya sambil loncat jika melihat ulat. Aku tak peduli meskipun orang-orang bilang padaku, bahwa mungkin ketakutan ulat itu padaku lebih besar dibandingkan ketakutanku padanya. Apapun itu yang jelas aku tidak pernah mendengar ulat itu langsung yang berujar padaku. Namun saat ulat itu berubah menjadi kupu-kupu sangat jarang ada orang yang tidak menyukainya, bahkan sangat mengelukannya. Kecantikan kupu-kupu menghapus gelar “menjijikkan” dan “ menakutkan” darinya.
Tetapi semua itu tak mudah ia lakukan, betapa berat perjuangan ulat untuk bermetamorfosis menjadi kupu- kupu yang indah. Saat ia harus berpuasa dan melupakan nafsu makannya sementara ia hidup bahkan merayap di atas makanan. Begitupun saat ia harus berjuang membungkus badannya dengan air liurnya hingga menjadi kepompong, belum lagi usahanya bertahan hidup di dalam kepompong hingga berwujud kupu-kupu yang sempurna dan segera dapat melihat dunia luas. Semuanya butuh usaha, butuh waktu serta butuh ketekunan dalam melalui tiap tahapan prosesnya. Jika ulat itu berhenti di satu tahapan, maka tentu ia tidak akan sukses menjadi kupu-kupu.
Setiap pribadi kita pun ingin diterima dengan baik oleh siapapun, kapanpun dan di mana pun kita berada. Maka untuk meraih itu semua kita juga harus siap “bermetamorfosis” layaknya ulat yang dibenci menjadi kupu-kupu yang dicintai. Perubahan itu menuntut kita untuk move on, berpindah dari kebiasaan lama menuju kebiasaan baru yang lebih positif dan lebih produktif. Sulit? Iya, namun jika kita ingat keindahan di penghujungnya maka semua kesulitan itu akan menguap dan semuanya akan menjadi mudah. Kesulitan ini karena kita belum terbiasa. Menurut saya memang ada hal-hal yang harus dipaksakan selagi itu untuk menjadikan diri kita lebih baik.
Jika ada yang berkata melakukan tidak semudah mengatakan, maka itu benar. Sudah fitrahnya begitu, tapi selagi hayat masih dikandung badan mengapa kita tidak coba berusaha, belajar menjadikan bahwa melakukan itu semudah mengatakan. Sebejat apapun tingkah polah manusia tetap masih ada sisi baik dalam hatinya. Maka sisi baik itulah yang akan mengharuskan dia menempuh perubahan. Tidak sedikit ustdaz yang luar biasa dulunya adalah mantan preman yang sangat ditakuti. Melalui proses “taubatan nasuha” mereka melakukan metamorfosis sempurna menjadi orang yang dicintai dan dirindui. Jika mereka bisa kenapa kita tidak…?
Memanglah semuanya itu karena hidayah, tapi hidayah itu mesti dijemput bukan ditunggu. Allah akan memberikan hidayah kepada hamba-Nya yang dikehendaki, maka luruskan niat di hati dengan kesungguhan ingin berubah menjadi lebih baik lagi agar kita menjadi orang pilihan yang akan dihampiri oleh hidayah itu.
Memang saat kita masih berada dalam prosesnya semua terasa berat, seakan raga ini tak kuat, hati merintih bahkan jiwa pun seakan ingin menyerah. Namun nanti jika kita telah sampai di penghujung metamorfosis sempurna, maka hasilnya itu mampu menghapuskan semua kenangan pahit selama ini. Seakan semua yang ada hanya keindahan dan kesenangan, tak ada lagi bekas mata sembab karena air mata.
Mengapa menempuh perubahan itu begitu pahit? Karena hasil perubahan itu teramat manis. Jika tekad telah tertanam kuat di hati maka setiap rintangan dalam perubahan itu akan dengan mudah mampu dilalui. Kunci terbesarnya adalah semangat pantang menyerah. Sebagaimana kita tahu bahwa terjatuh itu biasa, tapi saat jatuh mampu bangkit berdiri lagi dan kembali berlari, itu yang luar biasa.
Sekarang tinggal kita pilih akan jadi orang yang biasa-biasa saja atau akan menjadi orang yang luar biasa. Mari bersama kobarkan semangat menjalani metamorfosis sempurna menghapus cerita lama untuk meraih masa depan yang penuh cinta bersama pribadi yang lebih berwibawa. Semangat bermetamorfosis, let’s move on to be the Best.
Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya
Beri Nilai: