Khalaf mencatat, setelah 25 tahun Kesepakatan Oslo dan jabat tangan antara Yasser Arafat dengan Yitzhak Rabin di halaman Gedung Putih, isu tentang konflik Palestina-Israel semakin dilenakan.
Sebagai gantinya, para pejabat Israel lebih memilih menyoroti hubungan mereka dengan negara-negara Arab yang kian berkembang. Kedekatan dan rekonsiliasi tampak melenggang, meskipun proses perdamaian selalu menuai kegagalan. Bahkan PM Benyamin Netanyahu baru-baru ini memuji “normalisasi” hubungan tersebut.
Sementara itu, Israel juga senantiasa merayakan setiap langkah kecil seakan sebuah pencapaian besar. Sebagai contoh dispensasi larangan perjalanan ke Israel melalui langit Arab Saudi, seperti yang diperoleh Air India dari New Delhi ke Tel Aviv melewati langit Saudi.
Sedangkan di Kairo, sentimen anti-Israel masih bergema meskipun ada perdamaian resmi Mesir-Israel. Pada Mei lalu, Kedutaan Israel di sana merayakan 70 tahun berdirinya Israel di hotel Ritz-Carlton.
Terkait Israel-Saudi, Khalaf menyebut kehangatan keduanya sering didorong oleh rasa permusuhan yang sama terhadap Iran. Selain juga adanya dorongan dari Trump yang bertekad membatalkan warisan pendahulunya tentang kesepakatan nuklir Iran.
Terakhir, Khalaf menyebut pengabaian terhadap Palestina adalah langkah berbahaya yang dilakukan penguasa Arab, meskipun mereka punya permasalahan dalam menghadapi musuh yang sama seperti Israel. (whc/dakwatuna)
Redaktur: William
Beri Nilai: