Lebih lanjut, Achi menyinggung dua pernyataan Presiden Prancis Emmanuel Macron dalam beberapa bulan terakhir terkait isu-isu ke-Islaman. Ia menganggap, pernyataan Macron justru menimbulkan pertanyaan terkait visinya tentang hubungan Islam dan Sekuler di negara tersebut.
Pada tanggal 04 Januari lalu misalnya. Saat membuat komitmen dengan tokoh-tokoh agama, Macron menyebut hukum 1905 “tidak memperhitungkan Islam. Karena Islam belum tumbuh di masyarakat Prancis seperti saat ini”.
Namun kemudian, pada 09 Juli Macron menyebut adanya musyawarah yang mengarah pada ‘kerangka dan aturan’ untuk Islam di negaranya. Hal itu bahkan ia sebutkan di hadapan Parlemen.
“Apakah seorang kepala negara secara hukum berhak membuat amandemen semacam itu? Bukankah semua kelompok dan agama sama di hadapan hukum? Bukankah peran negara tidak membatasi kebebasan hati nurani, keyakinan, dan praktik ibadah yang terbaik?” lanjut Achi.
Achi menandaskan, opini publik tentang ketakutan pada Islam akan berubah seiring dengan pengesahan Islam sebagai agama resmi negara. Muslim Prancis memerlukan pengakuan sebagai warga negara secara penuh atas hak dan kewajiban yang sama dengan warga dari agama lain. (whc/dakwatuna)