Namun hal itu disebut sebagai ilusi, imajinasi, fabrikasi, penginaan dan kesalahan. Adalah Syaikh Abdullah al-Manea, anggota Dewan Ulama Senior dan Penasihat di Dewan Kerajaan Saudi, yang mengatakan hal itu.
Dalam sebuah program fatwa di stasiun televisi, seorang penelepon asal Maroko menanyakan tentang hakikat dari Wahhabisme. Secara frontal Syaikh al-Manea menjawab, “Wahhabisme adalah palsu, imajiner dan tidak ada alam realitas sedikitpun.”
Menurutnya, menyebut Saudi dengan Wahhabisme merupakan fabrikasi politik. “Tujuannya adalah alineasi negara ini dan semua yang ada padanya,” imbuh Al-Manea.
Syaikh Al-Manea tidak menafsirkan maksud ‘realitas’ dalam pernyataannya. Namun yang ia maksud mungkin era baru, di mana Saudi berupaya mengurangi beban masa lalu, minimal dalam hal politik dan hak asasi.
Sangat tidak mungkin bagi seorang syekh yang memegang jabatan di pemerintah untuk mengingkari doktrin resmi negara, tanpa merasa pasti bahwa apa yang dikatakannya memuaskan para pembuat keputusan.
Boleh jadi pertanyaan seorang dari Maroko itu sangat dinantikan oleh Syaikh al-Manea. Dengan pertanyaan itu, ia punya kesempatan untuk menghancurkan tiga abad sejarah Saudi.
Namun tidak mungkin menghilangkan warisan Wahhabisme baik positif ataupun negatifnya, hanya dalam beberapa menit siaran televisi. Padahal peninggalan Wahhabisme itu sudah dicetak dalam banyak buku, terekam dalam kaset, dan terpatri dalam hati para pemuda di sejumlah daerah.
Meskipun disebutkan bahwa Wahhabisme di Saudi hanyalah imajiner, tetap saja sangat sulit bagi warga Saudi untuk meyakini bahwa mereka tidak berpaham Wahhabi.
Dalam kesempatan itu, Syaikh Al-Manea juga menyebut bahwa Syikh Muhammad bin Abdul Wahhab, Imam Ibnul Qayyim dan Imam Ibnu Taimiyah adalah ulama pembaharu. “Mereka pendudu negeri ini dan berada pada pemahaman orang-orang shalih terdahulu,” imbuhnya. (whc/dakwatuna)
Redaktur: William
Beri Nilai: