Perubahan di Turki bertujuan untuk menciptakan mesin administrasi yang bergerak cepat. Dengan begitu, imbuh Barchard, presiden secara pribadi mampu memastikan status Turki sebagai negara besar dan kuat.
Barchard dalam artikelnya juga bertanya soal kemungkinan kemampuan Erdogan mengembalikan kekuatan dan kehebatan Turki. Pergolakan di Turki, menurutnya, jauh lebih kuat daripada 16 tahun lalu saat Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) berkuasa untuk pertama kalinya. Barchard meyakini dampak yang dihasilkan oleh pergolakan itu akan memakan waktu bertahun-tahun.
Sistem pemerintahan yang benar-benar baru telah dipetakan. Meskipun perubahan itu telah disetujui melalui Referendum 16 April 2017 lalu, namun rincian spesifiknya baru benar-benar jelas saat ini. Itu diuraikan melalui tiga keputusan yang diambil selama akhir pekan lalu, lanjutnya.
Keputusan pertama, negara ini akan diperintah oleh Erdogan dari Istana Kepresidenan di Bestepe, Ankara, melalui satu set papan yang akan memberinya laporan.
Kedua, belenggu yang selama ini membatasi kepala instansi untuk melakukan reformasi telah dihancurkan. Hal ini seperti sejumlah departemen yang dihapus, atau kementerian yang digabungkan.
Ketiga, masih akan ada dewan menteri. Namun Badan Eksekutif akan lebih pragmatis dari sebelumya. Ini berkaitan dengan dihapusnya posisi perdana menteri, serta tidak adanya syarat akutabilitas di hadapan parlemen. Dewan Menteri pun tidak ada yang berasal dari parlemen, serta tak diperkenankan untuk menjadi anggota parlemen.
Barchard di akhir artikelnya mengatakan, perubahan ini berarti adanya pergerakan cepat ke arah yang diinginkan oleh Erdogan baik untuk internal maupun eksternal Turki. (whc/dakwatuna)