Sebagai mahasiswa internasional, Ozturk mengaku sering ditanya seperti: ‘Bagaimana perasaan Anda hidup di bawah kediktatoran?’ “Pertanyaan seperti ini sangat ironis. Aku tak paham maksudnya, hingga melihat liputan media Barat berkaitan dengan pemilu ini,” imbuhnya.
Ozturk menyebutkan, ia sangat paham keseriusan ancaman terorisme dan tantangan ekonomi global terhadap stabilitas dunia. Turki, menurutnya, masih menjadi pulau yang relatif sepi di tengah kawasan yang senantiasa diwarnai instabilitas. Namun Turki berhasil melestarikan demokrasi, dan itu harus dipuji, jelasnya.
Lebih lanjut, Ozturk mengaku terkejut dengan komentar pers Inggris terkait keputusan memajukan pemilu Turki. Disebutkannya, media di sana benar-benar meninggalkan fakta-fakta dasar yang ada di Turki.
Media Inggris menyebut pemilu Turki dipercepat atas desakan dari oposisi, dalam upaya mengatasi ‘ancaman terhadap stabilitas’ negara, terang Ozturk.
Sebaliknya, media juga menggambarkan langkah itu sebagai pukulan Erdogan bagi tampuk kekuasaan. “Untuk memanfaatkan popularitasnya dan mengantisipasi penurunan mata uang dan ekonomi Turki,” lanjut Ozturk lagi.
Ozturk mengaku, tulisannya ini bukan bermaksud untuk membela Erdogan. Namun ia hanya ingin mengungkapkan pentingnya pembangunan yang akan dicapai dengan memperkuat demokrasi di negaranya. (whc/dakwatuna)