dakwatuna.com – Belajar di kelas berdinding bilik dan berlantai tanah, bukan lagi pemandangan asing yang mewarnai wajah pendidikan Indonesia. Kelas rangkap dua dan tiga seolah hal biasa saja. Di tengah banyaknya program pemerintah untuk menyamakan kualitas pendidikan di kota maupun di pelosok sana, masih saja ada yang tidak dapat mengecapnya seujung kuku pun. Bukan apa-apa hanya karena ada kebocoran yang lupa ditambal.
Jika diibaratkan pipa air, maka airnya sudah merembes ke mana-mana sehingga sampai di tempat penampungan sudah sedikit. Ditambah lagi baknya yang tidak bagus, merembes lagi lah air yang sudah sedikit itu. Alhasil air yang bisa diambil tidak lagi sesuai harapan. Benar-benar besar mudharatnya pipa yang bocor ini, mau disusuri…? ah terlalu panjang hanya akan menambah kerjaan, karena bisa jadi telah tertutup tanah, atau tenggelam dalam semak yang kian merimba. Didiamkan saja, ternyata bocornya kian besar hingga pipa itu pun putus di tengah jalan. Jangankan air jernih yang keruh pun nihil.
Disinilah lemahnya kita, saat ada bantuan yang di kucurkan, malah disalah gunakan. Jika kita kembali lagi ke permisalan di atas, maka tak ada gunanya air jernih yang mengalir deras di hulu, jika pipa yang menyalurkannya sudah rusak. Apa artinya dana bantuan dengan deretan angka nol yang sulit dihitung dikucurkan demi perbaikan mutu dan kualitas pendidikan, jika penyalurnya masih banyak yang tak bermutu.
“Uang”, radiasinya terlalu berbahaya dan menyilaukan hingga merusak penglihatan bahkan akal dan pikiran. Saya tidak menyalahkan siapa-siapa, hanya sedikit belajar dari realita. Bukan lagi rahasia bantuan salah sasaran. Tidaklah hal yang aneh saat pelaporan LPJ pembangunan dengan dana bantuan bisa menggembung hingga berkali lipat dari kenyataan. Kemana perginya…? Entahlah mungkin terbawa debu kemarau, atau diterbangkan badai sepoi di musim hujan.
Tidak itu saja, betapa banyak anak Indonesia yang belum merasakan manjanya fasilitas pendidikan yang sebenarnya. Bukan tak diperhatikan, bukan juga tak ada bantuan, hanya saja masih sama dengan pembahasan di atas ada yang merasa lebih membutuhkan hingga memanfaatkan sendirian. Sehingga nama mereka hanya menjadi modal turunnya dana. Kalau pun bantuan sampai di tangan mereka itu mah sudah tidak utuh. Dengan dalih biaya tak diduga dihalalkanlah pemotongan hak siswa.
Jika dipikir-pikir lagi mungkin ini terus berlanjut karena kurangnya pengawasan atau malah pelakunya terlalu cerdas hingga mampu menyembunyikan keahlian. Terkadang saya sering berpikir sendiri, sebenarnya jikalau semuanya benar-benar amanah maka mungkin pendidikan di Indonesia jauh lebih baik. Tidak mustahil pendidikan kita akan menjadi sorotan Negara lain sebagai rujukan untuk standar kualitas pendidikan yang diharapkan. Kala pikiranku kian lelah tanpa tahu bagaimana harus “berulah”, alasan pesimis mulai menggerogotiku. “wahai diri,,terlalu tinggi khayalanmu, ini dunia bukan negeri dongeng dengan sulapnya Nirmala, cepatlah bangun sebelum kau terhempas jatuh dari mimpimu nan seakan lelap di atas awan.”
Berbicara tentang pendidikan, dan itu di Indonesia seakan tak ada habisnya. Mungkin banyak yang seperti saya, hanya bisa berteriak-teriak tanpa tahu harus berbuat apa. Bukan melancarkan hujatan hanya menyampaikan sedikit curhatan. Teraniaya bathin dalam kemungkaran namun tak punya kuasa untuk mencegahnya dengan tangan atau pun perkataan, hanya mampu berdoa dalam diam meskipun di cap dengan selemah-lemahnya iman.
Salam pendidikan dari pelosok Banten
Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya
Beri Nilai: