dakwatuna.com – Jangan sampai kasih sayang mengalahkan keadilan, dan jangan pula keadilan mengalahkan kasih sayang. Kata-kata ini terasa begitu membekas di benak, pesan dari sang guru pada malam itu, masih terpikirkan olehku. Begitu indah dan besar makna kata-kata ini, untuk menjadi pegangan hidup bagi generasi muda dan para pemimpin negeri ini.
Ya, kata-kata ini mengingatkan kita akan kisah sang teladan, baginda nabi Allah Muhammad Saw. Yang berkata kepada para sahabatnya bahwa seandainya Fatimah putriku melakukan perbuatan mencuri, maka tentulah aku sendiri yang akan menghukum dan memotong tangannya. Kisah ini mengajarkan kepada kita semua bahwa betapa keadilan itu mengalahkan kasih sayang.
Rasulullah Saw adalah contoh pemimpin negeri, dan pemimpin umat di dalam agama Islam. Maka seandainya Fatimah Benar melakukan tindakan pencurian, tentunya dengan sangat mudah bagi rasulullah untuk mencari alasan agar Fatimah tidak dihukum. Tetapi itu semua tidak dilakukan oleh baginda Rasulullah, karena ia ingin mengajarkan kepada kita bahwa betapa besar makna sebuah keadilan. Sehingga kasih sayang pun tak menjadi “penting” baginya demi sebuah keadilan.
Melihat dari kisah tersebut, kita bandingkan dengan para pemimpin kita saat ini. Adakah pemimpin yang rela melakukan tindakan yang sama, untuk menghukum keluarga bahkan anaknya sendiri ketika melakukan kesalahan? Saya rasa, saya belum menemukan contoh pemimpin yang seperti ini di Indonesia.
Mungkin kita semua masih ingat, peristiwa yang menimpa anak salah seorang pemimpin salah satu partai politik di negeri ini yang mengalami kecelakaan sehingga mengakibatkan korbannya meninggal dunia. Entah bagaimana ceritanya sehingga ia tak mendapatkan hukuman atas peristiwa tersebut. Ya, ini hanyalah salah satu contoh peristiwa “keadilan yang tak adil” di negeri ini. Masih banyak peristiwa-peristiwa yang tak pantas kita lihat dan kita teladani dari para pemimpin kita.
Namun bagaimana dengan ungkapan jangan sampai keadilan mengalahkan kasih sayang. Mungkin kita pikir ini adalah sebuah ungkapan yang berlawanan. Akan tetapi saya ingin mengingatkan kita semua akan kisah Khalifah Abu Bakar, ketika ia sedang melakukan sidang terhadap kasus kaum muslimin yang sedang bersengketa. Pada saat itu ada dua orang budak yang dilaporkan oleh salah seorang juragan unta, karena kedua orang budak ini telah mencuri unta miliknya. Kemudian Khalifah Abu Bakar bertanya kepada kedua orang budak tersebut. Mengapa kalian mencuri?. Kedua orang budak ini menjawab: kami terpaksa mencuri ya Abu Bakar, karena kami lapar.
Setelah mendengar jawaban tersebut, kemudian Khalifah Abu Bakar memanggil majikan dari kedua orang budak tersebut dan memerintahkannya untuk mengganti unta yang telah dicuri oleh budak-budaknya. Karena mungkin saja ketika majikannya tidak lalai dalam memberi makan budak-budaknya, tentu kedua budak tersebut tidak akan mencuri hanya untuk makan.
Kisah ini mengajarkan kepada kita bahwa keadilan jangan sampai mengalahkan rasa berkasih sayang sesama manusia. Dan kisah ini juga kembali mengingatkan kita, akan peristiwa yang menimpa seorang nenek yang berusia sekitar 60 tahun di negeri ini, yang harus duduk di kursi “pesakitan” karena dituduh mencuri beberapa buah biji coklat yang telah gugur dari batangnya. Dan contoh kisah lain adalah seorang nenek yang harus di hukum delapan bulan lamanya karena telah mengambil beberapa ranting kayu bakar untuk memasak.
Kisah kedua nenek tersebut, menunjukkan kepada kita bahwa hukum di negeri ini begitu kuat dan tajam ke bawah. Sehingga tidak memperdulikan apa latar belakang yang menyebabkan kedua nenek tersebut mencuri, apakah untuk menimba kekayaan atau hanya untuk makan. Namun hukum di negeri ini juga “tumpul”dan tidak berdaya terhadap golongan atas atau pemimpin negeri ini.
Ya, inilah sepenggal kisah dan nasehat dari Sang Guru kepada para pemimpin negeri ini dan khususnya para generasi pemuda yang akan meneruskan kepemimpinan bangsa ini. Agar mampu memegang teguh prinsip “jangan sampai kasih sayang mengalahkan keadilan dan jangan pula keadilan mengalahkan kasih sayang”. Semoga kita semua mampu berlaku adil di negeri yang katanya adil namun tak adil.
Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya
Beri Nilai: