dakwatuna.com – Setiap kecelakaan atau tragedi pesawat, maka yang paling dicari adalah kotak hitam. Dibuat sebagai alat perekam rahasia pesawat, pilot, kru, penumpang, dan merekam suasana di luar selama perjalanan. Dalam aksi longmarch jutaan orang mengenang pembunuhan 12 redaktur Charlie Hebdo, seluruh negara Arab mengirimkan wakilnya. Bahkan Raja Jordania, Presiden Palestina Mahmoud Abbas, PM Israel Netanyahu berada dalam satu barisan.
Negara-negara Muslim sepatutnya tahu. Bahwa tidak ada alasan logis mengapa harus berlebihan menampakkan kepedihan terhadap Perancis. Negara penjajah haus darah yang jejak-jejak kebengisannya tercatat jelas di Mali, Aljazair, Afghanistan, Syiria.
Mengapa kepedihan dan kutukan itu tidak nampak saat Gaza digempur Israel. Tragedi di Syiria, 350.000 rakyat dihabisi Assad. Tragedi pembantaian demonstran oleh rezim As-Sisi di Mesir. Belum lagi tragedi Muslim Rohingya, Muslim Sunni di Irak, jangan lupa Muslim Bosnia dan Balkan yang dihabisi Kristen Serbia? Seakan-akan, darah Muslim Arab, Muslim Asia, Muslim Afrika, Muslim Eropa itu murah meriah. Sementara penghina Nabi adalah mulia.
Erdogan dalam hal ini sangat tegas. Walaupun mengirimkan utusan ke Aksi Longmarch di Perancis, sebagai bagian dari etika bertetangga. Turki dalam posisi mengutuk aksi terorisme atas nama apapun dan dimanapun. Siapa yang paling keras menyerang Israel? Siapa yang paling keras menyerang rezim Assad? Siapa yang terdepan membantu rakyat Gaza, Palestina, Syiria, dan negara-negara tertindas lainnya? Turki.
Erdogan paham, kotak hitam yang merekam jejak-jejak kebrutalan itu tak tersentuh aturan dunia yang kebetulan mengikuti aksi di Paris. Sayangnya, para penguasa di negeri muslim, berkuasa untuk tunduk pada keinginan penjajah. Mereka berkuasa, berkat backup dan izin dari penjajah. (usb/dakwatuna)