dakwatuna.com – Ada banyak masalah pendidikan di Indonesia saat ini, akarnya di mana? Sebagaimana judul yang saya tulis di atas yaitu “Ketika Guru Mengaku Sebagai Buruh”, tatkala seseorang sudah bermental buruh maka dia akan selalu banyak menuntut dan meminta, tak pernah puas, bekerja ala kadarnya sesuai job description saja, kalau perlu abaikan saja jobdesnya saat tanggal gajian ribut kenapa lembur tak dibayar, kenapa mengawasi ujian tidak dibayar, mengapa mengajar ekstra-kurikuler tidak dibayar. Ribut setiap tanggal gajian saja, setelah itu mengajar sekadar menyelesaikan tugas ajar saja.
Bahkan tidak jarang guru mulai bosan mengajar. Guru berlomba ingin menjadi pengawas di Dinas Pendidikan, apapun caranya akan dilakukan, salah satunya menyogok pejabat Dinas, Ada nilainya 100 juta, 200 juta hingga 300 juta yang penting “Saya Tidak Mengajar Lagi”. “Saya ingin jalan-jalan seminar di berbagai tempat dengan tunjangan perjalanan dinas yang besar. Penulis tanya pada Anda, “Apa yang diharapkan dari guru-guru yang bermental cukong tersebut?” Berharap untung dan tidak masalah, yang lain buntung. Tentunya tidak semua guru, meskipun kejadiannya merata di berbagai pelosok.
Sejatinya menjadi GURU bukanlah pekerjaan tetapi pengabdian sebagaimana menjadi “Pegawai Negeri Sipil”. Menjadi guru itu adalah panggilan jiwa, bukan panggilan harta. Menjadi guru bukanlah sekadar mencari makan tetapi memberi “makan”, Jika Anda tidak memiliki jiwa Keguruan sebaiknya berhenti jadi guru sebelum rusak bangsa ini karena ulah guru yang tidak lagi sesuai dengan karakter aslinya seorang guru.
Jika Anda ingin tahu kondisi saat ini, begitu banyak guru di pelosok desa berpindah ke kota, mengajar di SD di desa tetapi memiliki rumah di Kota, dulu guru dekat dengan masyarakat, dimana mengajar di sanalah mereka berada, karena saat ini orientasinya sekolah adalah kantor sebagai tempat bekerja maka kondisi dekatnya dengan masyarakat dimana tempatnya mengajar diabaikan begitu saja.
“Guru Kencing Berdiri, Murid Kencing Berlari”. Inilah putaran setan yang takkan putus. Anak-anak yang diajar pun akan belajar dari gurunya, ketika anak-anak yang diajar melihat begitu menggiurkannya menjadi guru, cukup datang, ngasih tugas, ngobrol dan dapat uang, daripada harus bekerja seperti mencari klien, menjual produk, mengelas mesin, mengecat yang mana gajinya tak juga seberapa. Sejak itulah dunia pendidikan, tak lagi menjadi ladang pengabdian tetapi ladang pekerjaan, mencari uang dengan gampang.
Begitulah yang terjadi ketika guru mengaku sebagai buruh. (usb/dakwatuna)