Bahkan menurut saya, pola penjajahan di era ini pun mirip dengan pola penjajahan di masa lalu, hanya saja tampilan dan bungkusnya lebih ‘manis’. Pada zaman Belanda, misalnya, kita mengenal istilah politik ‘devide et impera’ yang polanya adalah dengan memecah belah rakyat. Kala itu, Belanda yang sedang mengusai Indonesia seneng banget bila ada gerakan-gerakan yang bisa memecah belah rakyat, bahkan mereka akan mendanai organisasi atau perkumpulan yang nyeleneh yang mau berkompromi dengan mereka. Sedangkan organisasi atau perkumpulan yang tidak sesuai dengan prinsip Belanda kala itu harus dibumihanguskan. Tidak jarang, antar pribumi saling rusuh lantaran berbeda organisasi dan prinsip yang mendasari. Lucunya yang sering terjadi adalah pribumi ingin ‘menghabiskan’ pribumi yang lain lantaran beda prinsip, Belanda pun tak perlu bersusah payah untuk melenyapkan organisasi-organisasi yang menentang mereka, toh dibantu pribumi yang seakan-akan sudah jadi ‘orang-orang’ mereka. Wajah pribumi, hati penjajah. Padahal seorang pribumi, seharusnya juga turut berjuang untuk merebut kemerdekaan, bukan malah menghambat pribumi lain yang ingin memperjuangkan kemerdekaan bangsanya. Lucu kan? Refleksi Indonesia hari ini pun bisa jadi demikian, pribumi ‘makan’ pribumi lain, jadi apa bedanya?
Saya pun berpikir, begitu pula halnya media. Pada zaman penjajahan Belanda dan Jepang, mereka ‘membeli’ media untuk memutarbalikkan fakta, menghasut, dan memecah belah rakyat. Hari ini? Bisa jadi sama. Pada masa penjajahan, tak jarang yang terdengar dari media-media milik penjajah adalah tentang keburukan-keburukan para pejuang dan kebaikan-kebaikan para penjajah, sehingga para penjajah disangka ‘orang baik’ dan para pejuang disangka ‘orang jahat’. Hingga rakyat bingung mau menaruh harapan kepada siapa. Kejam? Memang.
Terkait hasil bumi. Pada masa penjajahan, tiap hasil bumi, baik padi, jagung, kedelai, dan hasil bumi yang ditanam dan dipanen oleh pribumi dengan peluh dan masa yang panjang harus diserahkan kepada penjajah, para pekerja romusha, misalnya. Para petani banyak yang tidak bisa menikmati hasil kerja mereka setelah masa penantian panen yang panjang. Hari ini? Bisa jadi sama. Banyak petani lokal yang merugi akibat bentuk ‘penjajahan’ baru, apalagi kalau bukan impor hasil tani. Celakanya, bukan tidak sedikit orang pribumi pula yang turut memakmurkan ‘penjajahan’ ini, entah ini lantaran mau keren-kerenan karena produknya impor atau karena memang kualitas dan kuantitas hasil tani lokal yang kian menurun sehingga konsumen lebih memilih produk asing. Bukankah ini sama? Pribumi ‘makan’ pribumi?
“Apakah kalian tak pernah berpikir bahwa orang-orang kampong telah jauh merasa susah demi sekadar menyambung hidup? Apakah tak pernah muncul dalam tidur malam kalian tentang bocah-bocah yang hidup tanpa bapak-ibu? Apa tak pernah kalian baca dalam catatan sejarah tentang kelicikan bangsa asing yang datang bermanis muka, menyewa sepetak tanah lalu dalam sepetak itulah mereka bangun kekuatan dan merebut tanah-tanah kita dari timur sampai barat?” (KH. Zaenal dalam Novel ‘Tembang Ilalang’ buah karya MD. Aminuddin)
Dengan melihat semua ini, apakah kita masih bisa merasa tenang dan nyaman dalam setiap tidur kita? Mari kita bangkit dan bersatu. Insya Allah Indonesia BISA.