dakwatuna.com – Langkahnya tergopoh-gopoh, mengangkat kaki kiri lalu kanan kemudian berganti lagi dalam irama sendu. Punggungnya mulai bungkuk, berdirinya hampir terlihat seperti rukuk yang tak pernah lekang. Tusuk konde besi yang mulai berkarat tertisik miring di tengah gulungan rambutnya yang mulai memutih. Meski lamban, langkahnya tetap jua mengantarkannya tiba di rumah makan ini sebagaimana biasanya sejak lima hari ini, sejak pengantar daun simpor (daun yang biasa digunakan sebagai pembungkus makanan di Belitung) yang sebelumnya meninggal dunia. Itu dia nek Kuma, seorang nenek tua yang setiap hari selalu mengantarkan satu Among (Keranjang dari rotan atau bambu)atau setara dengan lima ikat daun simpor yang setiap ikatnya terdiri dari dua puluh lembar ke restoran ayam bakar tempatku bekerja. Setiap hari restoran ini membutuhkan hampir seratus lembar daun simpor sebagai pengalas piring karena jumlah tamunya yang hampir sejumlah itu setiap harinya.
“La udah nek, disitu saja lah. Nda usah di angkut ke dalam. Ntar aku saja yang angkat masuk,” aku menadah Among berisi daun simpor di punggungnya. Setelah meletakkan Among di lantai, aku membantunya mengeluarkan lembaran-lembaran daun simpor yang diikat dengan tali dari pelepah pisang lalu membawanya ke dapur.
“Rosi, di luar lagi ramai, banyak tamu, apa yang kau lakukan disitu?” bos pemilik restoran memanggilku.
“Aku gik bantu nek Kuma masukin daun simpor ke dapor buk,” jawabku sambil mengangkat ikatan daun simpor yang pertama.
“Usah lah, pekerjaan kau itu melayani tamu, bukan bantu kan pengantar daun,” si bos mengomeliku dengan nada keras seperti biasa.
Tanpa menjawab si bos lagi, aku bergegas meninggalkan nek Kuma yang masih berusaha mengangkat sisa daun simpor yang masih belum diangkat ke dapur beberapa ikat lagi.
“Maaf yah nek, aku ke depan dulu sebelum si bos mengomel lagi, taroh saja di situ, ntar aku saja yang bawa masuk” aku berbisik pelan ke telinga nek Kuma sebelum meninggalkannya. Seperti biasa, apapun yang aku katakan, jawabannya hanya disampaikan dengan sunggingan senyum kecil dari wajahnya yang hitam legam oleh papasan sinar Matahari Belitung yang selalu menyengat.
“Nape daun ni banyak yang rubek? Kiape care nak make? Ini upah ikam segini karena banyak yang rubek,” samar-samar aku mendengar pembicaraan si bos kepada nek Kuma.
“Rubek Cuma kecit, na banyak, tulonglah, cucuku na masuk SMP, aku butuh sekali uang, jangan dipotonglah,” untuk pertama kalinya aku mendengarkan suaranya sejak dua bulan aku bekerja di sini, bertemu dan menyapanya setiap pagi. Suara yang akhirnya keluar menggantikan senyum kecil yang selama dua bulan ini menjadi jawaban satu-satunya atas apapun yang kukatakan. Sayangnya suara yang pertama kali kudengar itu adalah dengan nada memelas.
“Itu urusan ikam. Aku bisa rugi kalau aku juga harus bayar daun yang nda kuang jua dipakai,” nada bicara si bos semakin meninggi.
“Tulonglah buk,” sekali lagi nek Kuma memelas meminta dikasihani.
Aku sungguh tak tega mendengarnya, aku bergegas mengangkat pesanan makanan ke meja tamu kemudian menuju ke dapur untuk berbicara dengan nek Kuma.
“Nek Kuma,” aku memanggil-manggilnya di dapur.
“Bang, ke mane nek Kuma, la pulang ke?” tanyaku pada Bang Handi, salah satu koki yang sedang memasak.
“Iye Ros, dia pulang bawa sakit hati, si bos kikir sangat, ndak nak ngaseh dia upah penuh padahal nek Kuma la memohon-mohon untuk cucunya,…” koki belum menyelesaikan penyampaiannya aku sudah berlari ke jalan untuk mengejar nek Kuma yang kuharap belum jauh.
“Nek Kuma!” aku memanggil-manggilnya di tepi jalan, berharap dia mendengar suaraku lalu kembali, tapi tidak. Aku tak dapat mengejarnya, aku tak lagi melihat punggungnya ke arah manapun yang mataku mampu tuju. Padahal jalannya sangat lamban, entah bagaimana dia bisa begitu cepat pergi. Pergi dan tak pernah kembali lagi “Padahal aku hanya ingin memberikan sedikit yang aku punya untuknya,” aku membuka kepalan tanganku yang berisi beberapa lembar rupiah lalu menutupnya kembali dengan wajah masygul. Sepulangku ke restoran, semuanya pun berubah. Tak terlihat lagi bangunan megah restoran yang selama dua bulan ini menjadi tempatku bekerja sebagai pelayan. Semuanya tertutupi oleh merah api yang menyala dengan tingginya. Teman-teman pelayan dan koki berlarian menyelamatkan barang-barang yang masih bisa di angkut, si bos, dengan rambut dan wajah berantakan berteriak histeris tak sanggup melihat usaha restorannya bernasib begitu naas dilahap sang jago merah. Sedangkan aku membatin di antara sekelibet pertanyaan juga iba yang meliputi rongga-rongga dadaku.
“Rosi, kenapa kamu berdiri saja disitu, bantu kamek,” panggilan Bang Handi menyadarkanku. Sontak aku berlari mengikuti gerakan teman-teman untuk mengangkut barang-barang yang masih bisa diselamatkan.
Redaktur: Ardne
Beri Nilai: