dakwatuna.com – “Malaikat” yang rajin menjadi pengingat, sebutan itu kami sematkan buat jundi-jundi yang hadir dalam rumah tangga ini. Bukan saja karena mereka selalu berhasil membuat tangis berubah menjadi senyuman, pun karena kekesalan dan amarah menjadi tawa, atau bahkan lelah dan lara tiada terasa. Mereka juga seolah charger bagi jiwa kedua orang tua, apabila daya tubuh lemah atau sudah nge-drop, “malaikat” bertubuh mungil alias kanak-kanak suci ini senantiasa siap mengisi ‘batere’, rumah tangga kian ramai dan berwarna bak keindahan pelangi usai pergantian terik mentari serta hujan berpetir.
Beberapa peristiwa sering menggelitik diri, untuk kurenungkan dan amat kusyukuri. Betapa Allah Swt amat sayang kepada hamba. Anak-anak seolah menjadi penerus pesan dari malaikat di sekelilingku. Tak hanya kejadian-kejadian istimewa yang membuktikan ada penjagaan terbaik dari-Nya. Semisal ketika terpeleset parah di jalan licin, namun tiada luka. Panas demam yang tiba-tiba tak ada bekasnya. Atau, bayiku pernah jatuh dari ranjang, namun alas kasur di bawah badannya pun turut jatuh menjadi alas pelindung tubuhnya, masya Allah!
Peristiwa yang menohok khilaf diri pun tersentil dari ulah mereka. Misalnya, sikap bang Azzam. Sewaktu emakku datang ke Kuala Lumpur ketika kami baru tiba dari Kuwait, beliau membantu kami berbenah di tempat tinggal yang baru. Beberapa kali diriku, emak, serta anak-anak jalan berbarengan. Berenang dan mendaki aspal berbukit di depan rumah. Seraya bercanda, aku berucap, “Waaaah, emak kalah deh! Di belakang mulu. Jangan lambat banget dong, Mak.“ Bang Azzam, si sulung yang sensitif mendengar ucapanku dengan pandangan yang tidak suka, seolah ingin membela neneknya, spontan ia berkata, “Ummi… Kok bilang begitu sih? Ombay (sebutan bagi nenek dalam bahasa Ogan Ilir) kan sudah tua, Mi. Nanti kalau abang tambah besar, umminya lambat-lambat juga. Bisa-bisa, Abang bilang gitu juga, lho.” Polos sekali kalimatnya, dan emakku pun jadi tertawa kecil sambil berpelukan dengan cucu-cucu kesayangannya.
Astaghfirrullah… “Iya, yah? Ummi nanti tambah usia, abang gede, terus ummi jadi tua dong yah? Aduuuh, kalau umur ummi sampai tua, maunya ditungguin pelan-pelan jalannya bareng abang yah, nak. Astaghfirrullah, Ummi kan bercanda tadi, yah Ombay… (sambil melirik ke arah emakku). Idiiih bang Azzam, kalau Ummi gak sampai tua, yaaah Abang gak perlu capek ngegandeng pelan-pelan. Abang banyak doain ummi aja…” Kali ini kukedipkan mata ke arahnya.
Karena dia sudah mengerti maksudku, ia segera menampakkan mimik muka sedih, bibir bawahnya dimajukan beberapa senti, “Jangan bilang gitu dong, Mi. Abang sayaaaaang sama ummi… hu..hu…hu….” peluknya erat. Masya Allah. Selanjutnya kami dorong-dorongan seperti bermain naik kereta api dalam tiga generasi ; anak, emak, cucu.
Bang Sayyif, si tengah pun demikian. Ia bagaikan alarm tatkala rasa rindu telah membuncah dalam jiwa. Termasuk rindu pada orang tua kami. Suatu kali, Sayyif memencet sendiri nomor handphoneku. Ternyata pulsanya habis. Beberapa hari kemudian, tatkala pulsa kembali diisi, ia menanyakan kepadaku, “Ummi, telepon?” Kalimat pendek itu hanya kujawab singkat, “Siapa, Nak?”
“Telepon Ombay.” Atau, ia bilang, “Telepon Abi.” Ketika ayahnya sedang bertugas di luar. Kalau ia sudah bilang sendiri, artinya ia mau bicara di telepon. Dan ternyata, Sayyif tak cuma bicara -meski kalimatnya pendek. Ia bernyanyi dengan bahasa campuran khasnya sendiri (Sayyif lahir di Malaysia, namun tumbuh kembangnya sejak usia 7 bulan hingga 4 tahun, berada di Polandia). Alhamdulillah, ulah uniknya ini ternyata amat berkesan bagi seluruh anggota keluarga. Nenek-kakeknya serta anggota keluarga lain selalu senang mendengar suara Sayyif kalau bernyanyi, berceloteh, atau pun melantunkan secuil surat pendek (Q.s. al-Fatihah dan Q.s. al-Ikhlas yang paling sering dilantunkannya).
Sayyif dan si bungsu Zuhud pun sudah sedemikian kompak di setiap waktu azan tiba. Sungguh, malu diri ini jika mereka sudah menarik-narik baju atau tangan kami agar segera berwudhu dan melaksanakan perintah Allah Swt nan utama itu. Mereka komat-kamit seraya mencari kopiah, “Allahu Akbar…. Hayya ‘Alashsholaaaah…” Kedua balita itu menoleh ke kanan dan kiri karena mengikuti cara abangnya kalau bersiap-siap shalat berjama’ah dengan melantunkan iqomah.
Alhamdulillah, “Fabiayyi Alaa Irabbikumaa Tukazzibaan…”
“Malaikat” kecil di sekelilingku, tak hanya anak-anak kandung dalam keluarga kecil kami. Mereka nan menghapus air mata duka dengan pengalaman hidup yang lebih perih dibandingkan apa yang kualami. Sebagaimana ananda-ananda yang sedang tergolek di rumah sakit dalam persiapan operasi akibat kelainan pada jantung, dalam jadwal terapi kanker, lupus atau penyakit kronis lainnya, Subhanallah! Mereka menularkan pelajaran berharga bahwa hidup bermakna perjuangan. Mereka menginspirasi bahwa makhluk mungil bisa saja memiliki kekuatan yang besar, bahwa orang-orang dewasa harus terus belajar arti ketulusan dan sabar dalam menerima ragam peristiwa, menikmati keindahan rencana-rencana Sang Mahakuasa dengan lafaz syukur yang tak pernah memudar.
Bermohon hamba kepada-Mu, semoga perisai indah dan keanggunan jiwa “malaikat” di sekelilingku senantiasa Engkau jaga dan tercurah taufiq hidayah-Mu sepanjang hayat, cita, dan tapak perjalanan mereka. Semoga prajurit-prajurit “malaikat”-Mu pun meng-aminkan segala doa kebaikan buat mereka. Penuhilah keikhlasan jiwa dan sabar tiada batas dalam diri kami, aamiin. Hanya kepada-Mu kami bersandar, menumpahkan segala asa. Jauhkan kami dari kelalaian. Sungguh, mereka adalah amanah-Mu yang teramat berharga. Terima kasih Yaa Allah. Wallahu A’lam Bishshowwab.