dakwatuna.com – Dikotomi secara naluriah memang sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia untuk memetakan pilihan-pilihan dalam meniti jalan hidup. Bahkan dalam Bahasa Mesin sekalipun dikenal istilah Bilangan Biner, kalo tidak 0 ya 1. Bilangan Biner inilah yang menjadi molekul inti dari setiap data yang jumlahnya milyaran dan tersebar di seluruh jagat internet seperti sekarang ini.
Indah memang, jika dikotomi ini bisa dirangkai menjadi harmoni. Pada tulisan sebelumnya dari artikel ini, telah dijelaskan dikotomi yang diharapkan dan tidak diharapkan. Dapat diduga, semakin mendekati hari-H pilpres 2014, penggunaan dikotomi ini semakin menjadi-jadi, dan semakin membuat rakyat bingung dan terkotak-kotak.
Begitu sengitnya Pilpres memperebutkan suara umat Islam melahirkan pertanyaan besar: akan dibawa ke mana biduk umat ini?
Sungguh, kami sangat rindu akan terwujudnya ayat ini, “Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi),” (Q.s. al-Qashash [28]:5)
Orang yang tertindas? Ya, strata masyarakat seperti inilah sebetulnya pemimpin sejati itu. Merekalah yang akan mewarisi bumi. Paradoks memang. Dan saksikanlah saat ini, di seluruh pelosok dan penjuru bumi, kezhaliman merajalela, penindasan ada di mana-mana. Hanya karena faktor tidak suka. 683 aktivis Ikhwanul Muslimin dijatuhi hukuman mati oleh rezim penguasa Mesir.
Hanya karena mundurnya seorang muslim dari posisi kepresidenan di Afrika Tengah, seluruh penduduk muslim diusir dari negara tersebut atau harus menghadapi ancaman kanibalisasi massal jika ngotot bertahan. Hanya karena ingin ‘memastikan’ kemenangan secara telak dalam Pemilu, Assad berhasil mengosongkan setengah dari penduduknya melalui metode pengungsian, pembantaian dan bumihangus. Hanya karena beragama Islam, maka ditindaslah rakyat Rohingya di Myanmar.
Di mana-mana, kaum tertindas itu karena posisinya lemah. Namun, di sinilah paradoks itu akan berlaku. Kaum tertindas itu, di manapun dan kapanpun, selalu erat kaitannya dengan pergantian kepemimpinan. Sejarah membuktikan bahwa kaum tertindas inilah kingmaker sesungguhnya. Bahkan mereka bisa menjadi king itu sendiri. Mari kita lihat daftarnya dari dulu hingga kini.
Nabi Musa meski tanpa senjata namun karena perbudakan telah mencapai ambang batas perikemanusiaannya, beliau mampu melepaskan rakyatnya dari jeratan pasukan Fir’aun yang perkasa. Amerika Serikat berubah menjadi negara raksasa setelah pasukan Utara berhasil membebaskan warga kulit hitam dari perbudakan pasukan Selatan. Revolusi Perancis pecah akibat raja Louis dan bangsawannya yang berperilaku borjuis di atas penderitaan rakyatnya.
Kebudayaan Islam bisa masuk ke dataran Eropa setelah Tariq bin Ziyad mendapat panggilan “permintaan tolong” rakyat Andalusia untuk membebaskan dari kezaliman raja Roderic. Pasukan Sekutu bisa memenangkan Perang Dunia II dengan dalih hendak membebaskan kaum Yahudi dari penindasan Nazi. Pasukan Komunis bisa menciptakan Uni Soviet juga dengan alasan membebaskan kaum Proleter. Indonesia mampu mengalami Revolusi Mei yang menumbangkan rezim Orde Baru, karena rakyat telah jenuh dikerdilkan.
Corazon Aquino meraih dukungan people’s power setelah masyarakat sudah tidak tahan lagi dengan kediktatoran Ferdinand Marcos. Arab Spring yang menggegerkan dunia juga karena rakyat sudah muak dengan kelaliman berjamaah yang dilakukan raja-raja kecil di dunia Arab. Bahkan, Rusia dengan mudah masuk ke Ukraina pun karena alasan ingin membebaskan warga Rusianya dari penindasan.
Kekuatan apa yang dimiliki rakyat tertindas sehingga memiliki kemampuan untuk mengubah atau mengganti kepemimpinan, tak peduli sekokoh dan sezhalim apapun pemimpin tersebut?
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu.” (Q.s. al-Hujurat: 13)
Kemuliaan manusia, itulah causa universalis yang selalu menjadi idaman, impian dan harapan manusia agar bisa terwujud. Dan hal inilah yang menjadi energi bahan bakar yang tak pernah habis bagi kaum tertindas untuk bangkit dan mengubah nasibnya. Kesejajaran hubungan antar manusia dengan manusia dalam kerangka ketakwaan kepada Allah itulah yang disebut kemerdekaan yang hakiki.
Di sinilah letak benang merah itu, Pemimpin Indonesia masa depan adalah pemimpin yang peka terhadap kezhaliman yang terjadi di dunia saat ini. Mengingat vox populi sangat berperan pada Pilpres 2014 ini, Capres yang layak adalah sosok yang telah memahami secara sadar, kesedihan dan kegelisahan masyarakat yang mendalam atas merajalelanya kezhaliman ini, dan telah memiliki track record yang jelas untuk menjadi bagian dari pembasmi kezhaliman ini.
Pemimpin yang ideal adalah yang akuntabel, bisa diperiksa, dikritik, diingatkan dan diluruskan oleh warganya yang paling lemah sekalipun. Pernah seorang khalifah berkata, “Seandainya seekor kambing di Irak terpeleset kakinya, maka aku menganggap dirikulah yang harus bertanggungjawab di hadapan Allah. Mengapa aku tidak membuatkan jalan untuknya?”
Begitu berat amanat untuk menjadi pemimpin hingga Umar bin Khathab menggambarkan, “Saya sudah cukup senang jika dapat keluar dari dunia ini dengan impas: tidak mendapat dosa dan tidak pula diberi pahala.”
Kemampuan untuk mengangkat umat dari terpuruk menjadi terbebas bukan saja tolok ukur untuk memilih pemimpin. Namun juga sebuah beban hutang yang teramat berat bagi seorang pemimpin untuk ditunaikan selama masa kepemimpinannya. Dan menjadi beban dosa luar biasa bagi sang pemimpin apabila tidak diperhatikannya.
Pada era modern seperti sekarang ini, saat masyarakat berusaha merumuskan kata supremasi hukum, Ikhwanul Muslimin melalui Hasan al-Banna telah mengajarkan ketundukan pada hukum melalui teladan. Dimana IM tidak berubah menjadi organisasi teroris, ketika pemimpinnya digantung di depan umum. Partai PKS sebagai satu-satunya partai Islam yang mengalami koreksi akibat kasus LHI, justru harus bangga karena pemimpinnya mampu memberikan teladan kepada masyarakat bagaimana sikap ketundukan pada supremasi hukum, tanpa rekayasa kekuatan politik apapun. Sehingga harus menerima vonis luar biasa zhalim untuk sebuah kasus yang luar biasa fiktif.
Kepasrahan dan ketawakkalan LHI ini dipandang salah satu cara jitu untuk memutus lingkaran setan hukum yang saat ini sudah mengarah kepada komersialisasi hukum. Komersialisasi hukum telah menjelma menjadi kezhaliman baru di abad modern ini.
Hasan al-Banna dalam salah satu kesempatan berkata, “Sungguh umat tidak membutuhkan sama sekali keberadaan partai yang tidak mampu melayani masyarakatnya, menyatukan potensi bangsanya, memanfaatkan keunikan dan spesialisasi warganya, dan mencurahkan sepenuh waktunya untuk mengupayakan perbaikan negaranya. Karena tanpa itu semua, segala faktor penyebab kehancuran akan datang silih berganti mencegah bangsa itu untuk bangkit. Sebaliknya, sistem politik wihdah (bersatu padunya potensi umat,pen), selalu menampakkan kecemerlangan dalam sejarah kebangkitan.”
Banyak sekali kezhaliman yang berlaku saat ini. Lalu kezaliman yang mana yang harus diprioritaskan untuk dikikis? Itu terpulang pada kecerdasan dan hati nurani para pengambil kebijakan. Namun yang jelas, membebaskan manusia dari kezaliman bukanlah pekerjaan yang mudah.
Sebagai test case, lihatlah Suriah. Di sana terjadi salah satu peristiwa yang paling menyedihkan sepanjang sejarah manusia. Belum pernah ada sebuah kasus dimana semua pihak di muka bumi berpihak kepada pelaku kezhaliman. Hanya sedikit saja pihak yang membela pihak terzhalimi. Jutaan manusia terdislokasi, pembantaian massal tak henti-henti, paling tidak tiga generasi terputus masa depannya akibat ketiadaan infrastruktur. Yang paling pilu adalah berubahnya stadion-stadion menjadi tempat pemerkosaan massal sekaligus jadi tontonan pengganti pertandingan olahraga. Naudzubillahi min Zalik, ya Allah.
Kami ingin melihat, apa yang akan dilakukan para pemimpin muslim akan hal ini. Bagaimana mereka menyikapinya dan menunjukkan kepeduliannya. Bagaimana qiyadah melakukan langkah-langkah persiapan dalam merealisasikan aksinya. Bagaimana mereka menggalang dukungan dalam dan luar negeri agar dunia turut berperan serta dalam memberantas kezhaliman ini.
Dan, perlu cara-cara luar biasa untuk menggalang dana yang luar biasa.
Hingga saat ini, baru beberapa negara saja yang telah menunjukkan kepeduliannya secara nyata. Turki, contohnya. Mereka memberlakukan “galang dana gotong royong Syria” dari setiap kontrak yang dimenangkan perusahaan swasta pemenang tender. Dan memobilisasi terus menerus aset-aset negaranya untuk menampung para pengungsi Suriah.
Indonesia pun dapat melakukan hal serupa. Kelaparan luar biasa yang dihadapi rakyat Suriah, berhak dan layak mendapat perhatian dari rakyat Indonesia. Perlu mobilisasi nasional untuk menghantarkan segala jenis bantuan kemanusiaan bagi terwujud kembalinya kehidupan normal rakyat Suriah. Pergerakan negara yang masif jelas berbeda dampaknya jika dibandingkan dengan LSM-LSM swasta yang bergerak.
Suara partai-partai Islam yang besar pada Pemilu kali ini sudah seharusnya bisa diaplikasikan menjadi kekuatan nyata di parlemen untuk menyediakan ruang anggaran bagi mobilisasi nasional. Dan hanya calon eksekutif yang jelas-jelas memiliki pembelaan terhadap kezhaliman kaum muslim sajalah yang bisa tampil sebagai pembela program ini. Meski hal ini menyangkut hidup-matinya kewarasan peradaban modern saat ini. Namun, hanya pemimpin shalih sajalah yang mampu mendeskripsikan dengan detail persiapan matang dan penyiapan segala aspek yang terkait dengan mobilisasi ini yang akan menjadi kriteria bagi rakyat untuk memberi approval.
Jika PBB dan OKI tidak lagi bisa diharapkan dukungan nyatanya, ada sebuah kekuatan lagi yang masih terpendam dan belum termanfaatkan oleh kaum muslimin. Yaitu bahu-membahunya negara penduduk muslim berjumlah besar dalam memecahkan krisis kemanusiaan ini.
Lalu, apakah para pemangku partai dan Capresnya telah dan akan memperjuangkan hal ini?
Ingat wahai pemimpin, kami memilih dan mengangkat antum dalam Pileg, Pilpres dan dan sejenisnya adalah untuk menjadi pahlawan bagi kami, bagi umat, bagi Islam.
Kami titipkan jeritan suara hati kami sebagai umat agar kalian tampil sebagai pembebas kaum tertindas. Lain tidak? Di akhirat pun, akan kami tagih amanahnya.
Akhirul kalam, seperti yang telah diuraikan di bagian pertama, dalam memilih pemimpin janganlah menggunakan dikotomi ashobiyah yang akan mengkotak-kotakkan umat. Namun gunakan kriteria al-Quran
إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ
“Sesungguhnya manusia terbaik yang anda tunjuk untuk bekerja adalah orang yang kuat dan amanah.” (Q.s. al-Qashas: 26)
Pemimpin shalih yang kuat dalam mengemban amanah untuk membela kezhaliman terhadap ummat Islam, barangkali yang bisa kita pilih sebagai pemimpin pada hari H nanti.
Wallahu a’lam.