dakwatuna.com – Aku masih saja mengucek mata
Memperhatikan dan memastikan tak ada kabut di antaranya
Yang membuat halang, mungkin mengubah biru menjadi jingga
Pada wajah-wajah mereka
Yang sehari-harinya tak kudengar ujung keluh buta
Mereka yang matanya senantiasa bersinar
Menyambut binaan yang dadanya juga bergetar
Karena hatinya sedang gusar
Kemudian, mereka menepuk pundaknya dan berkata “Dik, Allah yang berkuasa paling lebar.”
Mereka pula yang semangatnya tak pernah pudar
Jiwanya terbakar saat rakyat meneriaki kabar
Tentang kepedihannya karena Penguasa kekar
Bergegaslah dengan koyak hati dan jejak kakinya berkobar
Dan masih ada di antara mereka yang otaknya terus berputar
Mewajahkan dan menancapkan fikrah dalam media syi’ar
Dalam panggung iman dan ilmu yang mengakar
Ke sana ke mari arah mengejar, sama sekali bukan dengan mata liar
Tapi jiwanya yang terikat azzam, menjadikannya turut terus mekar
Hingga tersadar, kucekan mata tak berimbas apa-apa
Dagu yang tertegak pun tak juga meraup dahaga
Karena sembuhnya dahaga adalah kerontang iman jauh dari hatinya
Apalagi kesah, gerutu, atau bahkan gulana, bukanlah sahabatnya
Karena langkahnya adalah usaha membersihkan jiwa
Menjadikan malam adalah masa paling tenang menahkoda
Menjadikan Qur’an adalah pesan paling hangat mengaroma
Menjadikan doa adalah cara paling sederhana mengeja
Menjadikan air mata adalah sentuhan paling bersih menyapa
Sesederhana Dia yang menyederhanakan senja menjadi malam
Menyediakan air hujan untuk kami menyembunyikan sepi
Tapi nyalanya terus hangat dan berpijar
Karena mekarnya jiwa,
adalah sahabat yang selalu bersinar