dakwatuna.com – Ilmu ushul fiqih sangat langka diajarkan dalam materi-materi training perbankan syariah dan Lembaga Keuangan Syariah, bahkan materi bahasannya tidak ditemukan sama sekali. Karena kelangkaan itu, maka para praktisi yang pakar ekonomi Islam dan SDM bank syariah termasuk regulator syariah perlu sekali memahami ilmu ushul fiqih, karena disiplin ini menduduki posisi utama dalam ilmu ekonomi syariah, khususnya bagi para pimpinan bank, regulator, dewan fatwa, terlebih dosen-dosen di Program Pasca sarjana ekonomi Islam.
Ilmu ushul fiqih yang bermuatan maqashid syariah akan memberikan pemikiran rasional dan filosofis tentang ketentuan-ketentuan fiqih muamalah, qanun dan fatwa-fatwa, misalnya mengapa gharar itu dilarang, dan apa illat dari setiap larangan gharar?, Mengapa bay’ kali bi kali dilarang?, apa illat nya, alasannya dan rahasianya?, Mengapa riba fadhal dilarang?, apa illatnya?, Kajian illat dan falsafah tasyri’ tentang riba fadhal ini akan menghasilkan argumentasi rasional mengapa penangguhan jual beli emas, perak, dollar, rupiah dilarang?, tetapi mengapa tahawwuth/hedging untuk maslahah dibolehkan?.Mengapa pertukaran dinar dengan rupiah harus cash, sedangkan jual beli emas batangan/perhiasan secara cicilan dibolehkan. Dalam kasus yang lain; Mengapa talaqqi rukban dilarang ?, apa illatnya?.
Terus yang penting lagi adalah, apa illat larangan transaksi dua akad dalam satu transaksi ?, Mengapa akad two in one itu dilarang dan mengapa hybrid kontrak dibolehkan?, Bentuk akad two in one bagaimana yang dilarang dan bagaimana pula yang dibolehkan?. Jawabannya harus dijelaskan secara rasional dan filosofis dalam koridor ilmu ushul fiqih. Urgensi mengetahui illat ini menjadi keharusan, mengingat telah terjadi kesalahan fatal dalam menyimpulkan dua akad dalam satu transaksi (shafqatain fi shafqah), yaitu menggeneralisasi secara salah bahwa setiap two in one (dua akad dalam 1 transaksi) dilarang, padahal hanya ada dua macam saja dari akad two in one yang dilarang. Ratusan bentuk lainnya dihalalkan. Kesalahan fatal ini karena kajian fikih muamalahnya tanpa didasari ilmu ushul fiqih tentang illat dan maqashid syariah serta tanpa kajian ilmu hadits yang mendalam.
Satu lagi yang cukup penting adalah tentang akad ta’alluq, Ada banyak pandangan yang menggeneralisasi semua ta’alluq itu dilarang, semua jual beli bersyarat itu dilarang, tanpa mengkaji dan memahami mengapa ta’alluq itu dilarang, apa illatnya, bentuk ta’alluq yang bagaimana yang dilarang dan bentuk ta’alluq bagaimana yang dibolehkan?. Mengapa jual beli bersyarat itu dilarang, apa illatnya?, Semua pengetahuan ini sangat berguna menghasilkan pengetahuan-pengetahuan baru yaitu akan memberikan pemahaman apa dan bagaimana bentuk akad ta’alluq yang dilarang dan mana pula yang dibolehkan, begitu pula jual beli bersyarat, mana jual beli yang dilarang dan mana pula yang dibolehkan. Semua analisisnya harus didasarkan pada kajian illat dalam metodologi ushul fiqih.
Contoh lainnya yang juga menarik adalah akad sewa beli (lease and purchase), apakah akad ini bisa disebut sebagai gharar,? Apa yang gharar dalam akad ini?. Ketidak jelasan akadnya sewa atau beli, atau dianggap tidak jelas pemindahahan kepemilikan?. Di sinilah diperlukan kajian illat dan maqashid syariah, sebuah kajian falsafah syariah mengapa gharar itu dilarang, apakah illatnya terdapat pada akad sewa beli itu?
Secara praktis,sebenarnya akad sewa beli tidak gharar, karena akadnya sudah jelas sekali. Dr. Usman Tsabir sudah membahas kontrak ini dalam buku Fiqih Muamalah Maliyah Mu’ashirah, secara tuntas (Kuwait, 2006). Begitu sewa berakhir, maka secara otomatis dan demi hukum aset menjadi milik nasabah, tanpa perlu akad baru lagi, karena janji hibah yang diaktekan ada saat akad sudah terwujud secara otomatis setelah berakhirnya periode sewa. Kejelasan akad sewa beli ini, tidak akan memancing dispute atau rawan perselisihan, karena itu hukumnya boleh. Jual beli gharar yang illatnya sudah hilang, hukumnya boleh, sesuai dengan kaedah al hukm yaduru ma’al illat wujudan wa ‘adaman (hukum itu berputar sesuai dengan illat, jika ada illatnya, maka hukumnya berlaku, jika tidak ada illat, maka hukum tidak ada, tidak berlaku).
Dalam kasus ini gharar itu dilarang karena akan sangat rawan menimbulkan perselisihan para pihak, sedangkan dalam akad sewa beli semuanya sudah jelas, sama jelasnya dengan kontrak jual beli. Karena akad yang jelas itu maka peluang perselisihan akibat akad hybrid sebenarnya tidak ada. Kalaupun peluang dispute ada, tapi porsinya sedikit sekali dan kecil sekali, bahkan disputenya bukan karena ghararnya, melainkan karena moral hazard di antara kedua pihak, misalnya dengan sengaja menunda pembayaran cicilan. Kecilnya peluang perselisihan sewa sama saja dengan kecilnya peluang jual beli murabah cicilan, sebab setiap akad pasti selalu ada kemungkinan terjadinya perselisihan, tapi sekali lagi bukan karena ketidakjelasan akadnya, melainkan karena moral hazard terutama dari nasabah yang mencicil.
Mari kita gunakan logika yang salim, kalau ada akad lease and purchase tanpa bunga, dengan ketentuan akad yang jelas, maka hukumnya boleh, karena tidak gharar dan tidak riba. Dengan demikian tidak semua gharar itu dilarang. Hanya gharar yang besar saja yang dilarang, yaitu peluang yang mendatangkan perselisihan saja yg dilarang syariah, sedangkan gharar yang sedikit tidak dilarang apalagi sudah menjadi ‘urf. Oleh karena itulah ulama membagi gharar kepada 3 macam, gharar katsir, gharar mutawassith dan gharar qalil.
Kemahiran menemukan illat, maslalah dan maqashid dari suatu akad dan transaksi sangat diperlukan, mengingat kasus-kasus baru terus bermunculan, seperti pembiayaan KPR syariah secara indent, MDC (Margin During Construction), tawarruq munazzam, dansebagainya.
Ilmu ushul fiqih akan merekonstruksi illat dari larangan jual beli indent (KPR property syariah), bentuk pembiayaan KPR indent bagaimana yang dilarang? Mengapa dalam jual beli salam, uangnya harus cash ? sehingga jual beli kali bikali (al-bay’ bi ajli badalain) dilarang?, dan bentuk kali bi kali bagaimana yang dilarang,dan mengapa dilarang ? Apa perbedaan illat antara KPRS Indent (yang menggunakan akad musyarakah mutanaqishah) dengan jual beli kali bi kali yang dilarang Nabi Muhammad Saw ?. Atau dengan perkataan lain, apakah boleh cicilan pada salam fil manafi’untuk pembiayaan KPRS Indent dengan musyarakah mutanaqishah (MMq) ? Kalau dilarang apa illatnya?, apakah illatnya sudah berubah dan berbeda dengan illat kali bi kali?. Kalau illatnya sama maka KPRS indent dengan MMq tentu tidak dibolehkan, tetapi jika illatnya berbeda, maka KPRS Indent dengan MMq dibolehkan. Disinilah diperlukan kecerdasan dan kepiawaian dalam menemukan illat suatu kasus keuangan syariah.
Membutuhkan disiplin ilmu lain
Upaya menemukan illat sering kali membutuhkan pengetahuan disiplin ilmu lain yang terkait, misalnya ilmu ekonomi makro. Mungkin secara fiqih muamalah literalis suatu produk dibolehkan, tetapi setelah mengkaji maslahat dan mudharatnya dari perspektif ilmu ekonomi makro, sesuatu produk itu bisa dilarang. Karena itu kita jangan terjebak kepada kerangkeng fiqih muamalah, tapi temukanlah illat, temukan maslahah dan mudharat dalam sinaran maqashid syariah.
Mungkin saja seseorang memiliki keahlian dalam ushul fiqih, tapi tidak menggunakan pisau analisis ilmu ekonomi makro, sehingga tidak bisa menemukan illat dengan tepat di bidang ekonomi. Misalnya ada seorang pakar di luar negeri yang membolehkan transaksi bursa komoditi berjangka karena mengqiyaskannya dengan bay’ salam, secara formal memang kelihatannya mirip. Namun secara illat dan maqashid, terdapat unsur derivatif ribawi di dalamnya, sehingga transaksi itu menjadi terlarang.
Contoh lain yang cukup sederhana antara lain tentang illat larangan riba, dikatakan (dianggap) illatnya zhulm, padahal illatnya bukan zhulm. Kesalahan menemukan illat riba, akan menimbulkan kekeliruan berikutnya, misalnya menganggap suku bunga bank di Jepang yang berkisar 2-3 persen setahun adalah tidak riba, karena ringan dan tidak zhulm, dibanding margin murabahah di Indonesia yang mencapai 10-12 persen setahun. Di sini dibutuhkan teori-teori ilmu ekonomi makro Islami,seperti teori inflasi, teori bubble dan krisis, hubungan riba dengan produksi, employment, dan sebagainya.
Pakar ekonomi Islam dan hukum ekonomi Islam harus bisa menemukan illatnya secara tepat dan akurat. Pengetahuan tentang illat ini begitu urgen, karena dengan mengetahui illat, maka ketentuan fikih muamalah akan selalu bermuatan maslahah dan maqashid syariah sehingga syariah akan selalu aktual, responsif, segar dn relevan dengan perubahan-perubahan bisnis dan tuntutan kemajuan zaman.
Dalam ilmu ushul fiqih kajian tentang illat dibahas dalam sub bahasan masalikul illat, yang dimulai dari takhrijul manath, kemudian tanqihul manath dan terakhir tahqiqul manath. Forum Training ushul fiqih akan melatih para ekonom muslim (akademisi/praktisi), DPS, regulator dan bankir untuk menemukan illat dan menetapkannya (tahqiqul manath).
Selanjutnya dalam kajian illat dan maslahah, seorang ahli ushul fiqih harus bisa menentukan qiyas jaliy dan qiyas khafiy dalam banyak kasus ekonomi keuangan, Tanpa pengetahuan tentang qiyas jaliy dan qiyas khafiy, maka akan mengakibatkan pandangan yang keliru dalam memahami suatu konsep fiqih muamalah, seperti menggeneralisasi semua tawarruq dilarang. Padahal harus dibedakan tawarruq munazzam pada umumnya dengan tawarruq yang nyata-nyata sektor riil, untuk pembiayaan pertaniandan UMKM, maka penyalurannya juga pasti menganalisa risiko dan kalkulasi bisnis pertanian itu. Dengan demikian, pakar keuangan syariah, akademisi dan praktisi harus bisa memahami konsep Istihsan dengan baik, agar pemahaman keuangan syariahnya utuh dan komprehensif. Jika metode istihsan digunakan secara kreatif, maka bank-bank syariah akan bisa melahirkan inovasi-inovasi produk yang canggih sehingga bisa tumbuh dan berkembang dengan cepat bahkan bisa bersaing dengan produk-produk bank-bank konvensional.
Pengetahuan tentang teori operasional qiyas jaliy ke qiyas khafiy, akan menolong seorang pakar dalam membedakan musyarakah mutanaqishah untuk KPRS indent Ijarah Maushufah fiz Zimmah (IMFZ) dengan bay kali bi kali (al-bay’ bi ajli badalain). Kalau seorang ahli fiqih tidak bisa membedakannya, maka MMq indent dianggap tidak sah, karena IMFZ sesungguhnya adalah bay’ salam, sedangkan bay’ salam harus duluan semua uangnya. Disinilah perlu analisis dan kajian komprehensif tentang perbedaan IMFZ dengan bay kali bi kali, Setidaknya terdapat 4 hal yg membedakan antara keduanya dan para ulama dunia membolehkannya asalkan akadnya tidak menggunakan redaksi salam. Jika terdapat perbedaan antara bay kali bi kali dengan IMFZ, maka peranan qiyas jaliy harus ditinggalkan menuju qiyas khafiyy, sehingga penggunaan akad Ijarah IMFZ pada MMq indent menjadi pratik yang dibolehkan secara syariah. (Ket : qiyas jaliy dalam kasus ini adalah menyamakan IMFZ dengan salam, sedangkan qiyas khafiyy membedakan IMFZ dengan bay kali bi kali.
Di sisi lain, pembiayaan KPRS indent dengan IMFZ harus dikaji dan dianalisis dengan bantuan ilmu ekonomi makro, sebab mungkin saja secara teori hukum Islam pembiayaan KPRS MMq Indent lolos, namun dari aspek kajian yang lebih luas, (ilmu ekonomi makro), transaksi itu menimbulkan resiko kemudhratan, spekulasi properti, gelembung-gelembung harga, dansebagainya. Nah, kalau ada problem seperti itu, maka pembiayaan properti indent dengan IMFZ pada MMq, seharusnya dilarang, walaupun hukum asalnya dibolehkan. (iaei/sbb/dakwatuna)
Redaktur: Saiful Bahri
Beri Nilai: