dakwatuna.com – Seorang mahasiswi cantik dan cerdas baru saja melalui tahun akhir perkuliahannya, beberapa bulan berikutnya ia menanti wisuda. “Sister, Alhamdulillah, sebentar lagi aku lulus ujian, mau bertunangan dan mencari pekerjaan. Kalau dapat ‘job yang itu’ maka bersyukur banget diriku…” celotehnya. Kami sahabat-sahabat dekatnya mendoakan kesuksesan itu dan berharap tercapai semua impiannya, namun penetapan rencana adalah Allah.
Tak disangka, wisudanya yang sempat tertunda pun harus bertambah prahara, sang tunangan dipanggil Allah, tiba-tiba telah berada di alam barzakh. Innalillahi wa inna ilaihi raji’uun…
Sister kita ini bertambah pilu melihat sohib lainnya yang telah berumah tangga dan menggendong putra-putri. “Enak sekali menikah dan punya anak-anak…” desisnya, mengurangi lafazh syukur sebagaimana hal yang patut dilakukan. Lebih enak jika menambahkan “Tetap syukur Alhamdulillah bahwa saya bisa punya kesempatan lebih banyak belajar dari keluarga saudari-saudariku untuk persiapan rumah tangga kelak…” Karena apa pun kejadian yang dialami, semuanya memang hal terbaik buat pribadi kita.
Bukan rahasia lagi, banyak sister yang telah mendidik buah hati (dengan jumlah kelahiran anak tiga, lima, enam orang atau lebih) menjadi tertunda ‘goal-goal’ pribadinya, urusan pendidikan formal, sosial, ekonomi dan meskipun cita-cita sederhana lainnya, dikesampingkan demi amanah penting yang bernama rumah tangga, ketaatan kepada Allah menuju cita sakinah bersama. Sungguh penting memanjatkan rasa syukur sekarang juga, jangan memberi kesempatan iblis memasuki relung hati kita di saat melihat ‘seolah banyak hal lebih nyaman’ dirasakan oleh sobat lainnya.
Suatu hari temanku bergumam, “Enak banget yah, dia kantornya dekat… bisa bolak-balik ke rumah, belanja juga dekat rumah, dan banyak dana belanja bulanan… sedangkan aku harus subuh bangun, buat cemilan, nitipin di kantin-kantin yang lumayan jauh supaya dapat sedikit laba demi tambahan belanja…” Padahal sisi teman yang diamati, juga berbisik dengan pasrah, “Enak sekali jadi dia, pintar membuat cemilan, bisa nitip menu di kantin-kantin, jadi banyak teman yang bertemu setiap hari, waktu luang pun banyak, bisa bermain sepuasnya dengan anak-anak usai mengurusi bisnis cemilannya… Sedangkan aku harus di depan komputer berjam-jam, cuti susah diambil-harus terjadwal, tak ada keluangan masa untuk memasak meskipun menu yang praktis, bahkan kala berjumpa permata hati—memeluk dengan tenaga lemah, hanya dengan sisa energi sejak pagi… namun harus tetap sabar dengan kondisi yang ada.” Wah, benarlah adanya ungkapan bahwa ‘bintang lain terlihat lebih terang, rumput tetangga tampak lebih hijau’, rasa syukur lebih mudah kita ucapkan dalam kosa kata, sering tanpa kita sadari perbuatan diri bukanlah praktek mensyukuri nikmat karunia-Nya.
Hal itu terjadi pada dua orang teman, mereka mengundurkan diri dari kursi ‘pekerjaan empuk’ yang digaji oleh dana rakyat. Bukan karena kebetulan semata, mereka menyadari bahwa jika pagi datang dan pergi setelah menampangkan tanda kehadiran, kemudian datang di jam ‘akan pulang kerja’ untuk menampangkan tanda kehadiran pula, terasa hati telah menipu jiwa sendiri. Meskipun keluar di tengah hari untuk tugas mulia semisal berceramah agama atau proyek kebaikan lain sebagai amal diri, efeknya besar, bahwa tugas-tugas di dalam kantornya dengan mudah ‘dilelang-lelang’ untuk membully beberapa pegawai yang lebih rajin, atau dikhususkan buat pegawai yang ‘doyan menerima tambahan pelicin’. Na’udzubillahiminzaliik…
Bagi kedua sobat ini, mengundurkan diri tersebut adalah bentuk syukur nikmat kepada-Nya, sebab mereka masih dilimpahi kesehatan, rezeki iman dan ilmu, bahkan memiliki kesempatan luas dalam memilih pekerjaan lainnya, yang jauh lebih berkah, insya Allah selamat di dunia sampai akhirat.
Sahabatku pernah berujar, “Kita masih terbelakang jika masih membandingkan jalan hidup kita dengan orang lain. Si X punya ragam keahlian yang dikhususkan oleh-Nya untuk kuat berada di jalan pilihannya, begitupun si Y, dan diri kita sendiri, semua tidak sama….” Sobatku yang memiliki beberapa putra dan putri, yang salah satunya harus di-terapi khusus karena kelainan tulang sejak lahir, ia tidak pernah mengucapkan ‘syukur kalau bisa ini anak segera sembuh…’ (Sebagaimana kebiasaan sobat lain yang sering kudengar jika sedang ‘jungkir balik merawat anak yang sedang sakit). Beliau malah berkata, “Semoga saya tidak lupa untuk bersyukur, dear… Berapa banyak sahabat kita yang belum bisa menimang anak, bahkan yang belum menikah di usia kepala empat, masa’ saya maunya buru-buru sembuh saja, padahal masih sekecil ini ujianku…?!” Masya Allah, ‘menonjok’ sekali kata-katanya.
Sering kali kita berbisik, bahkan menjerit dalam doa, sadar atau pun tidak, kita katakan, “Ya Allah! Tolong cepatlah selesai ini problemku, kalau sudah selesai masalah ini, maka aku bisa tenang, ya Allah, bisa lebih fokus beribadah kepada-Mu!” lantas ketika memang kesulitan dan permasalahan itu berlalu, kita ucapkan hamdalah, lega… Namun belum tentu kita kian menjaga ibadah dengan ‘fokus’ seperti janji kepada-Nya yang telah diucapkan. Ah, memang kita punya penyakit lupa dan lalai dalam bersyukur.
“Sesungguhnya bersyukur akan menambah kenikmatan Allah, dan perbanyaklah berdoa.”(HR. Ath-Thabrani) Ketika kita merenungi segala keberuntungan yang kita miliki, maka ‘double point’ kita dapatkan, yaitu tanda bahwa kita bersyukur atas nikmat karunia-Nya, dan tidak merugikan orang lain. Sebab kenyataannya semua makhluk di bumi ini diberikan-Nya permasalahan, setiap pagi dan petang, supaya kita belajar dan terus belajar. Jadi buat apa kita ‘omeli’ segala prahara dan problema ini, jauh lebih nyaman jika kita ‘berteman’ dengan masalah, bersyukur dapat menghadapi dan melaluinya dengan baik.
Ketika bersyukur, otomatis teman sejati jiwa hadir, yaitu kesabaran yang berbuah manis, Rasulullah SAW berpesan yang maknanya, “Barang siapa dikehendaki Allah kebaikan baginya, maka dia diuji (dicoba dengan satu musibah), Barang siapa yang memelihara kesopanan dirinya, Allah akan memelihara kesopanannya. Siapa yang merasa cukup, maka Allah akan mencukupinya, dan siapa yang melatih kesabaran, maka Allah akan menyabarkannya. Dan tiada seorang pun mendapat karunia (pemberian) Allah yang lebih baik dari kesabaran.” (HR. Bukhari)
Semanis ‘akhir ketenangan hidup’ bagi Sumaiyah binti Khabbat, betapa ketegaran dan kesabarannya dalam menghadapi siksaan telah menginspirasi semesta, tampak sekali sikap Sumaiyah binti Khabbat, ibu Ammar bin Yasir radhiallahu ‘anhu adalah tanda syukur, tanda bakti dan cinta kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Konon Si Abu Jahal, panglima kezhaliman memakaikan baju besi pada Sumaiyah, kemudian menjemurnya di bawah terik panas matahari yang membakar. Walaupun begitu ia bersabar dan mengharap pahala, ia tidak berharap sesuatu kecuali Allah SWT dan Hari Akhir. Ketika sikap beliau ini mematahkan kesombongan Abu Jahal, dan mengobarkan kemarahan di hatinya, Abu Jahal melakukan apa yang dilakukan oleh para penguasa zhalim lagi jahat ketika tak mampu berbuat apa-apa. Karena ketegaran Sumaiyah radhiallahu ‘anha dalam agamanya, Abu Jahal mendekatinya, kemudian menusuknya dengan tombak hingga meninggal dunia.
Dalam kitab ‘Usdhu al-Ghabah’, al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, “Abu Jahal menusuk sumaiyah dengan tombak yang ada di tangannya pada kemaluannya hingga meninggal dunia. Beliau adalah orang yang mati syahid pertama dalam Islam, beliau dibunuh sebelum hijrah, dan beliau termasuk di antara orang yang memperlihatkan keislamannya secara terang-terangan pada awal datangnya Islam.”
Sungguh pelajaran bagi setiap mukminah sepanjang masa, kian banyak godaan buat kita untuk mendekati dosa, untuk bermaksiat, untuk menjadi kufur nikmat, semoga kita mampu meneladani ketegaran, keteguhan dan kesabaran Sumaiyah. Kita ‘hanya’ sakit raga, kita ‘hanya’ letih dan penat dengan segala tugas, kita ‘hanya’ menjalankan peran yang melekat, dengan karunia-Nya kita menjadi muslimah, menjadi pendamping bagi suami yang shalih, menjadi ibu dan guru bagi anak-anak kita, dan ini belum sebanding dengan dahsyatnya cobaan wanita-wanita mukminah di zaman Rasulullah SAW.
Semboyan indah dalam perkataan Abu Athiyah,
“Bersabarlah dalam kebenaran, engkau akan merasakan manisnya
Kesabaran demi kebenaran terkadang harus melalui kepedihan.”
Hadirnya syukur pasti beriring kesabaran, sedangkan bila jauh dari rasa syukur – muncullah dengki serta penyakit hati lainnya, yang menggerogoti jiwa raga, na’udzubillahi mindzaliik. Jangan tunda puji dan puja serta doa tanda syukur dan cinta kepada-Nya, duhai teman-teman yang dicintai Allah, semoga hari-harimu berada dalam keberkahan dan ridha-Nya, aamiin…
Wallahu a’lam bisshawab.
Redaktur: Ardne
Beri Nilai: