dakwatuna.com – Beberapa hari setelah tiba di Kuwait, terasa getar hati iba saat mendengar kisah mengenai tetangga salah seorang sister di Indonesia. Keluarga kecil tersebut tinggal di perkampungan terpencil dan amat jarang berbelanja. Kebutuhan sehari-hari didapatkan dari pekerjaan serabutan sang suami, sementara sang istri harus menjaga kedua anaknya yang tidak bisa mengenyam pendidikan di bangku sekolah. Namun tiada pernah terdengar keluh kesah atas kesulitan hidup dari mulut sang ibu, tetangga-tetangga bahkan tidak mengetahui kondisi minim keluarga kecil ini.
Meskipun menderita beberapa penyakit bawaan lahir, kedua anak ini sangat memahami keadaan orang tua mereka. Suatu hari ketika tetangga (yang jarak rumahnya jauh) bertandang, dan tiada hidangan selain teh pahit di rumah itu, sang anak berbisik malu, “Maaf ya budhe, kami sedang tidak menyimpan gula…” Untungnya saat itu teman (yang dipanggil budhe ini) membawa beberapa oleh-oleh makanan, termasuk sebotol madu murni. Teh menjadi lebih enak baginya ketika ditambahkan sesendok madu. Anak- anak polos itu sangat ceria dengan kedatangan tamu jauh yang merupakan sobat orang tua mereka, dan sering berbagi cerita tentang perantauan. Apalagi seraya menikmati teh hangat dengan oleh-oleh madu tersebut.
Menitik air mataku membayangkan keluarga itu ~ jangankan untuk sekolah anaknya, untuk membeli gula pun, tiada dana belanja. Puasa sunnah sudah teramat biasa bagi mereka, menahan lapar dan dahaga telah menjadi ‘gaya hidup alami’, subhanallah! Para tetangganya berujar, “Keluarga mereka itu tidak pernah ribut-ribut, mengeluh, menggosip, atau pun ngutang, lho….” Aiiih, kami tambah kagum pada mereka. Kita cepat sekali kesal dengan tertundanya bonus gaji atau pelayanan publik dan prosedur yang berbelit, sedangkan mereka hanya bergubuk dengan lantai tanah, yang sehari-hari belum tentu punya beras dan tidak punya gula! Tentu mereka tak tergoda dengan adegan dramatisir acara-acara televisi Indonesia yang sering mengekspos kemiskinan dan derita anak bangsa, yang kemudian diolah menjadi kelipatan uang rupiah dari hadirnya iklan-iklan yang menyukai rating tinggi.
Aku teringat Hania di sebuah desa terpencil pula, sudut Krakow. Gara-gara ‘gift’ gula dan madu serta biskuit buat keluarganya, keluarga kecilku menjadi hadir dalam ingatan keluarga mereka. Kata Hania, “Di Poland, banyak kue-kue manis, apalagi dessert sangat bervariasi, namun untuk teh dan kopi, kita jarang mencampurkan gula… Lebih sehat jika minum teh madu…” Aku sepakat tanda setuju, sama seperti cerita Eve yang jika kusiapkan teh~ia tidak mau menambahkan gula. Sehingga di Krakow, kami terbiasa mengurangi pemakaian gula, bahkan seringkali menikmati teh tanpa gula. Baik teh hijau, maupun yellow-tea, lemon-tea dan black-tea.
Ujar Eve, “Dari waktu zaman nenek kakek saya dan generasi atas-atasnya lagi, sejak komunis berkuasa, kan kita susah dapat produk atau bahan makanan, termasuk gula, teh, kopi…. Jadi ketika sewindu kemajuan negeri yang tajam dan supermarket menjamur di Poland, kita merasa harus tetap membiasakan diri berhemat dan hidup sehat.” Aku berdecak kagum. Memang Poland merupakan negara yang belum terlalu lama bergabung dengan Uni Eropa, sehingga saat ini sedang banyak pembangunan gedung baru di berbagai kota, dan perekonomian mereka lumayan stabil. Harga-harga barang kebutuhan yang selalu meningkat, tidak begitu terasa berat bagi orang-orang di wilayah perkotaan, apalagi pekerja asing, karena kurs mata uang Zlotyh PLN stabil, tidak memiliki imbas besar Euro saat krisis di Eropa.
Hania dan Eve mempunyai kakek dan nenek yang rajin membuat madu sendiri, mengurusi ternaknya sendiri, serta membuat keju olahan sendiri. Mereka juga pernah mengirimiku kue bolu siram madu, susu sapi murni yang diperas oleh ayah Hania (segar dari sapinya langsung), pierogi ruszki dan vegetarian food buatan mama Eve, serta makanan ‘home made’ lainnya. Menu masakan di Krakow (yang non-daging) lebih sehat, mengutamakan bahan segar dan buatan sendiri, terutama bagi vegetarian. Banyak orang malas membeli yogurt atau jus di toko-toko, padahal rasanya enak menurutku. Teman-teman memilih membuat sendiri, dan ketika kucicipi, memang lebih enak yogurt dan jus ‘home made’ buatan mereka.
Tak menyangka madu alami nan menyehatkan itu hadir dalam pembicaraan kami, tatkala Hania menyinggung soal sunnah rasul-Nya Shallallaahu alaihi wa Sallam, bahwa Rasulullah SAW senantiasa memiliki adab-adab makan dan minum serta menu yang menyehatkan. Meskipun hidup teramat sederhana, baginda nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam adalah sosok muslim yang sehat dan kuat, tak hanya akhlaq sempurna, fisik beliau pun tidak cepat lelah. Bahkan cara makan minum serta kebiasaan mengkonsumsi kurma dan madu, ditiru oleh banyak masyarakat di Eropa. Kita tidak sulit mencari kurma dan madu di Eropa, termasuk di Poland, di kedai kecil pun tersedia. Bahkan Hania yang sering masak mengatakan bahwa kurma sering dimasukkan ke menu masakan atau menjadi favorit dalam pembuatan ragam kue, selain kismis dan selai.
Di Krakow sendiri sedang berkembang bisnis herbal dan bazaar-bazar yang menginfokan tentang kesehatan, madu menjadi produk andalan Krakow pula. Sumber energi, membantu menjaga daya tahan tubuh, meningkatkan stamina, menjaga kesehatan kulit, dan ribuan efek serta khasiat lainnya dari madu merupakan lahan penelitian banyak ilmuwan mereka. Subhanallah…
Ketika berada di Kuwait, aku bahkan tercengang berkali-kali, hampir semua produk adalah import. Madu dan yogurt serta herbal pun diimpor, terutama dari Amerika dan Eropa. Beberapa bahan makanan banyak diimpor dari Saudi Arabiya dan Indonesia, namun di banyak supermarket yang menjual kebutuhan sehari-hari, produk Amerika paling memenuhi etalasenya. Oh, Islamku… Padahal Hania dan teman-teman mengira bahwa orang-orang Arab lebih piawai mengolah madu dan mencontoh cara hidup Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam, sungguh mereka akan terkejut ketika menemukan fakta bahwa saat ini orang-orang di jazirah Arab lebih cinta pada mall dan fast-food, bahkan orang-orang berharta dan keturunan para Raja di padang pasir cenderung ramai memenuhi rumah sakit dibandingkan masjid.
Kadar insulin tinggi, diabetes, darah tinggi, dan sakit jantung dijadikan “hal biasa” buat gaya hidup di negeri ini. Mereka sanggup mengimpor ribuan perawat dan tenaga medis lainnya dari Asia, termasuk Indonesia, dengan prinsip egois, “kalian harus menjadi pelayan kami.” Berbeda dengan di Eropa yang menganggap tenaga kesehatan merupakan konsultan bagi pasien. Nikmat kesehatan dan masa muda mereka tak disyukuri dengan sepatutnya, gelimang harta dan tahta membuat terbuai dan terlena, na’udzubillah minzaliik.
Sesendok madu inspirasi, teguklah setiap pagi dengan basmalah, madu alami merupakan obat mujarab penawar duka dan luka, penambah motivasi untuk menghidupkan sunnah rasul-Nya, serta khasiat lain yang semoga menjadikan sisa usia kita kian bermakna dan terarah menuju cinta-Nya, aamiin… Yook, kian mensyukuri nikmat sehat ini, Semoga kita dapat menjaga amanah diri, & termasuk ke dalam kumpulan hamba Allah SWT yang senantiasa teguh mendekap hidayah-Nya, Allahumma’aamiin… Wallahua’lam bisshawab.
Redaktur: Ardne
Beri Nilai: