dakwatuna.com – Namanya Marinah binti H. Abdul Halim, lahir ketika masa penjajahan Jepang dan pendudukan Belanda. Beliau nenekku dari jalur ibu. Beliau kini tinggal bersama kami di rumah orang tuaku di Lampung Tengah. Kulitnya yang keriput masih menyisakan gurat kecantikan masa mudanya. Meskipun terbilang tua, namun nenekku masih sehat. Beliau masih tegak berjalan dan mampu membaca dengan baik. Pendengarannya saja yang mulai berkurang, sehingga kami sekeluarga perlu menaikkan volume suara supaya beliau bisa mendengar kata-kata kami. Semoga itu bukan termasuk perbuatan yang Allah dan RasulNya larang.
Beliau terlahir di Banyumas, sebuah kota di Provinsi Jawa Tengah dengan bahasa yang khas. Logat Jawanya masih kental hingga kini, sehingga tak jarang kami menertawakan logatnya yang lucu dan unik tersebut. He he he… (maaf ya mbah…). Di umurnya yang menginjak kepala delapan, nenekku masih rajin mengerjakan amal yaumiyah. Amal yang wajib tidak pernah ditinggalkan, yang sunnah pun demikian. Setiap hari nenekku tak pernah ketinggalan shalat fardhu, tilawah Qur’an rata-rata 1 juz, shalat Dhuha dan qiyamul lail (tahajud + witir). Padahal tak ada yang memutabaahnya tiap hari, namun beliau tetap bersemangat dan giat. Allahumma irhamha… Hingga kini beliau senantiasa mengingatkanku untuk senantiasa shalat. Hampir tiap waktu ketika di rumah beliau akan bertanya, “wis shalat? (Sudah shalat?).
Ada satu lagi kebiasaan yang masih rutin dilakukan hingga kini yaitu membaca buku. Setiap kali aku membawa buku ke rumah pasti beliau akan meminjam dan membacanya. Sering aku merasa kehilangan buku-buku, namun tak lama kemudian nenek pasti bilang, “bukumu di meja mbah”. Semangat membacaku pasti akan langsung tersengat melihat nenekku yang telah uzur saja masih gemar membaca. Aku senang sekali ketika beliau bercerita masa lalu, tentang dirinya, keluarga dan keadaan masa lalu ketika Indonesia dijajah Belanda. Pernah suatu kali beliau bercerita tentang suaminya, yang tak lain adalah ayah dari ibuku alias kakekku. Ketika ibuku masih berusia 2 tahun, mbah
Mahfud sakit karena tertusuk potongan kayu saat banjir. Karena minimnya fasilitas kesehatan zaman dulu, sakitnya tak tertolong dan meninggal dunia. Sakit itu kini dikenal dengan tetanus. Sejak saat itu nenekku menjanda. Di saat yang lain, nenekku juga bercerita tentang anak-anaknya yang meninggal ketika masih kecil, ada 4 orang anaknya yang meninggal ketika masih balita.Ketika aku masih kecil, nenekku datang dari Jawa dan membantu ibuku dalam mengurusku. Sering sekali beliau menyanyikan lagu-lagu untuk menghiburku. Ini salah satu lagu yang hingga kini sebagian liriknya masih ku ingat. Lagu ini dikenalkan oleh seorang guru TK pada nenekku.
(bahasa Jawa)
Jo lali anakku, yo ngger
Isih cilik tak kudang-kudang
Ora liyo pengarepanku
Besuk gede keno tak sawang
Rungokno kandaku iki
Dadiyo bocah seng ngabekti
Seng sregep olehmu ngaji
Kanggo sangu mbesuk yen mati
(terjemah bahasa Indonesia)
Jangan lupa, anakku sayang
Masih kecil di pangkuan
Tidak lain harapanku
Besok besar dapat dilihat
Dengarkan pesanku ini
Jadilah anak yang berbakti
Rajin-rajinlah mengaji
Untuk bekal ketika mati
Ingin sekali menuliskan banyak hal tentang nenekku. Catatan kecil ini dibuat untuk kembali mengingat jasa-jasanya. Di hari Pahlawan, ketika banyak orang lain mencari-cari sosok pahlawan yang ideal. Aku ingin menyajikan sesosok pahlawan yang tak jauh dari kehidupan kita. Yaitu nenek kita. Tulisan ini untuk menghormati nenek-nenek di seluruh dunia. Baik yang masih hidup ataupun telah meninggal dunia. Mari proklamirkan bersama Nenekku, Pahlawanku…
Oh nenekku pahlawanku …
Pantang mundur nasihatku
(Wali Band)
Konten ini telah dimodifikasi pada 13/11/12 | 05:25 05:25