dakwatuna.com – Soal pengalaman, mungkin setipis tisu, namun insting terhadap kebenaran setebal benteng Zulkarnain. Karena pemuda kata Ibnu Katsir “tergesit menyambut bisikan kebenaran dan lebih lapang dadanya menerima alternatif dari pada orang tua”. Itulah sebabnya ketika undangan kerja besar terbuka, merekalah yang pertama menerjang menyambutnya. Sehingga merekalah mayoritas penyokong pertama dakwah Rasul dibanding generasi tua Quraisy. Bahkan Rasul mengatakan “tidaklah Allah mengutus nabi kecuali ia masih muda”.
Mengapa? Karena fase ini semua kebaikan manusia terkumpul. Otot dan otak, semangat jiwa dan kesegaran tubuh, obsesi dan optimisme. Semua ini terakumulasi menjadi sesuatu yang bernama kesempatan. Kesempatan berkontribusi untuk keluarga, masyarakat, negara dan umat. Maka dari itu, setiap panggilan kebenaran selalu berhasil direalisir oleh sahabat-sahabat Rasul dalam usia muda.
Pertama, karena mereka sadar bahwa dalam seluruh fase hidup, fase syabâb, pemuda, adalah fase tanam karakter yang mereka butuhkan untuk merealisasikan puncak karya mereka di masa depan. Saat kesempatan itu ada mereka habiskan seluruhnya untuk peningkatan kapasitas diri. Oleh karena itu, saat amanah dakwah khusus dari Rasulullah itu sampai kepadanya. Zaid bin Tsabit kecil itu gopoh-gapah sambil gembira. Ia pelajari bahasa Yahudi Ibrani dari dasar hingga sefasih Yahudi asli hanya dalam dua pekan. Begitu juga bahasa Suryani dan Persia. Sehingga kapasitas khusus itu mengantarkannya ke posisi level negara. Ia menjadi penerjemah khusus Rasulullah di negara Madinah sejak usia 13 tahun.
Kedua, sahabat-sahabat muda Rasulullah menyadari bahwa kesempatan menuntaskan misi itu tidak panjang sehingga mereka bergegas sejak awal. Bahkan sebelum baligh, mereka berlatih memikul misi dakwah, agar setelahnya mereka mampu memulai tanggung jawab dengan maksimal. Seperti anak-anak kecil Madinah yang sembunyi-sembunyi mendaftar jihad dalam perang Badr, memelas memohon Rasul agar diizinkan bergabung dengan pasukan.
Sayangnya, ini yang menjadi kesia-siaan pemuda zaman ini. Bahwa masa kontribusi seorang pemuda sering dipersepsi saat ia selesai fase pendidikan perguruan tinggi. Itu artinya antara 22 hingga 27 tahun. Mungkin mereka berobsesi besar, ada misi untuk agama Allah ini di hatinya, namun mereka menunggu, sampai ijazah kuliah dicetak.
Pemuda bagi Amerika adalah delapan belas tahun ke atas. Di bawah itu dianggap anak-anak. Definisi bagi negara-negara Eropa atau Arab sekalipun tidak jauh beda. Sehingga hasil survey golongan muda terbaik Mesir pun terlalu menyedihkan. Saat ditanya apa yang ada di pikiran mereka, jawaban mahasiswa-mahasiswa Universitas Cairo itu tidak jauh seputar khawatir dengan pengangguran, tidak bisa menikah, narkoba dan rokok. Tema kontribusi baru akan mulai terpikirkan setelah soal-soal pribadi itu selesai. Di tanah air, usia 23-25 tahun adalah trend para sarjana segar menenteng map menuju pintu-pintu perusahaan. Walau pada sebagiannya agenda dakwah dimulai saat mahasiswa sebagai training, namun tema tersebut mulai intens terpikirkan saat fase pendidikan selesai.
Sedang dalam Islam, garis tanggung jawab pemuda adalah bulûgh. Sejak saat itu ia menjadi seorang Syâb, pemuda. Mungkin ini adalah masa toleransi bagi kebanyakan manusia di dunia. Saat orang tua, sekolah dan masyarakat mentolerir apatisme pemuda 13 tahun. Toleransi saat bermain sepanjang hari dan berleha sepanjang malam. Toleransi dalam apatisme terhadap kerja-kerja dakwah, bahkan toleransi dalam kemaksiatan. Tapi toleransi itu tidak pernah ada di akhirat. Karena saat ia akil baligh sekitar usia 13-14 tahunlah semua detik hidup tercatat dan teraudit di hari akhir. Karena pencipta manusia mengetahui detail kapasitas pemuda akil balig yang seharusnya mampu berfikir mendalam, kerja berat dan hidup serius.
Betapa jauhnya selisih garis start pemuda zaman ini dengan pemuda-pemuda di generasi terbaik. Itu karena tahun-tahun awal setelah usia muda baligh seorang pemuda masih dipersepsi sebagai anak-anak yang polos lugu dan menjadi figuran dalam kehidupan manusia dewasa.
Padahal di garis itulah sesungguhnya kerja-kerja besar mulai dirangkai. Seperti Thalhah bin ‘Ubaidillâh menjadi tulang punggung dakwah terberat di Mekah, seorang penunggang kuda paling disegani dan dermawan kelas tinggi hingga digelari Rasul ‘Thalhah al-Khair’, dan kerja-kerja besar dirintisnya di usia 16 tahun. Lain lagi dengan Sa’ad bin Abi Waqqâsh, jalan menuju penaklukan-penaklukan raksasanya dimulai sejak 17 tahun. Ali bin Abî Thâlib dipercaya menjadi kader utama di fase dakwah rahasia di umur 10 tahun saat sahabat-sahabat dewasa belum diprioritaskan.
Semua itu nyata, bukan mitos. Mereka kecil dalam usia tapi tidak dalam pikiran dan gerakan. Betapa usia muda bukan penantian untuk beramal hingga sampai umur tiga puluhan. Misi besar di umur belasan bukan mustahil diterapkan. Semua realita inilah standar dalam evaluasi diri. Bukan untuk melemahkan dan mematikan harapan yang jauh dari kenyataan. Tapi semua untuk menggantikan gundukan kerikil persepsi yang menjejali pemuda-pemuda zaman ini. Persepsi agar pemuda menikmati hidup dalam santai, tidak perlu terburu-buru. Untuk menggantikan pandangan orang tua yang takut untuk mendidik pemuda dalam keseriusan dan misi-misi besar sejak akil baligh dan menangguhkannya hingga usia 20 tahun dengan alasan menunggu kematangan.
Jebakan penangguhan amal ini adalah salah satu syubhat setan. Karena jerat tidak pernah berhenti. Bisikan setelah fase pendidikan umumnya adalah karir pekerjaan, lalu menikah, lalu anak-anak. Dan akhirnya obsesi-obsesi dakwah yang saat menjadi aktivis Islam pernah membara kian redup untuk selamanya mati ditelan rahang rutinitas. Dan titik kesadaran itu baru muncul di senja hari seperti ungkapan bijak Turki ‘‘bir musibet bin nasihattan iyidir’’ (sebuah musibah lebih menyadarkan dari seribu nasihat)”. Benar, ia sadar, namun ia hanya seorang mantan pemuda yang menyesal.
Redaktur: Ardne
Beri Nilai: